PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hinduiesme”
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Disusun oleh:
Ida zubaedah (1111032100032)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
Pendahuluan
Agama
Hindun timbul dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama (bangsa)
Dravida dan agama(bangsa)Arya.dalam perkembangannya di India lalu ada
usaha-usaha yang mempesonahkan untuk memasukan berbagai macam kepercayaan yang
ada, filsafatnya, dan praktek-praktek keagamaannya dalam suatu sistem yang
sekarang ini disebut dengan Agama Hindu.
Agama
bangsa Arya kita kenal dari kitab-kitabnya yang mengenai agamanya, yakni
kitab-kitab Weda (Weda artinya tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama
Hindu disebut masa Weda. Dalam tulisan kali ini penulis ingin sedikit
memaparkan tentang zaman Weda secara garis besar yag dibahas kali ini
Dewa-dewa, Roh-roh (jahat), Korban, dan praktek keagamaan.
1. Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa
Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah
sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima
aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai
pengembara cerdas, tangguh dan trampil.[1]
Zaman Weda merupakan zaman penulisan
wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan beragama pada zaman ini,
didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda Samitha, yang lebih
banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda secara Oral, yaitu
dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab suci
Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua ajarannya
bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama Hindu
mengakaui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda suci
Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa,
yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi
ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku
sepanjang masa. Namun demikian dikalangan sarjana, baik Hindu maupun Barat
telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda itu diwahyukan.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu
didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita,yang mereka yakini
sebagai ciptaan Brahma.[3]
Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebu. Isi Weda pada
mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian.
Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
Ø Rigweda.
Rigweda berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000
puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta)
terbagi lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan
orang mati, pembakarannya dan pengamburannya menurut umat Hindu, Rigweda ini
sangat penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama
mamoteistis dengan falsafah yang monistik [Itulah yang maha Esa. Orang-orang
suci memberinya agama yang bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan
Matariwan (Rigweda I, 164:44)].
Ø Samaweda.
Samaweda merupakan suatu bunga-rampai Rigweda, dan sangat menekankan pada
tanda-tanda irama music. Samaweda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian
dinyanyikan diikuti irama music oleh para pendeta yang disebut Udgatr,
dan biasanya dilakukan pada upacara korban diselenggarakan.
Ø Yajurweda.
Weda ini tidak hanya mnemuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan
tetapi mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda
memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan ketiga-tiganya
sering disebut dengan Triwedi.[4]
Ø Atharwaweda.
Para atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam weda ini dijumpai
kidung-kidung yang harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma. Isi Atharwaweda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri dianggap sudah
memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda tidak
terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang
khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan
dengan ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uraian
tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun pertarakan, juga
tidak ada ajaran avatara atau penjelmaan.[5]
Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti.
Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan
komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti
dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian
: [6]
1) Mantra
2) Brahmana
3) Aranyaka
4) Upanisad
A. Dewa-dewa
Dewa-dewa
yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia
dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan
dalam me-nyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam
Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas : Dewa-dewa langit, Dewa-dewa
Angkasa, Dewa-dewa Bumi.[7]
Dewa-dewa
langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata
dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna
memberikan hadia kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat.
Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya
diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya
digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya
yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa.[8]
Dewa-dewa
angkasa antara lain Dewa indra dan dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan
Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu
manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin
dipandang sebagai Dewa yang penting.
Yang
termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah
Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa
Api, yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah
yang meneruskan puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud.
Agni pula yang mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan
bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam
api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai
saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang
untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama; dan api untuk upacara penghormatan dean pemujaan arwah leluhur. [9]
Kemudian
Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan
yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban,
soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah
bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus
itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan soma itu saja.
Ada
beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya.
Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu,sikembar Aswin atau
Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas
(dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra (Dewa
taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting sebagai
personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau Brahaspati (Dewa
personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar (Dewa Guntur).[10]
Sekalipun
dalam agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan
politeistis karena ternyata Dewa tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para
Dewa yang lain. Dengan demikian hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang
memiliki segala kekuatan para Dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena
itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme
(henoteisme). Max Mller juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau
politeisme dalam ketuhanan agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme”
karena ada kecendrungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama
yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan
sebagai heneoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai
katenoteisme (khathenotheisme) karena dalam agam ini terdapat kecendrungan
untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang
diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun
kepadanya.
B. Roh-roh (jahat)
Menurut
kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat
ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang
kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan
diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa,
Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah
leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang
meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih
mengembara dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan
sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara.
Raja para pitara adalah Dewa Yama.
C. Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur
mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yamg selain dilakukan dengan
harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga
supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan serta
ketentraman. Tujuan utama melakukan upacar korban dalam agama Weda ini ialah
terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh pendeta yang mebujuk
dan merayu para Dewa untuk mengabulkkan permohonan manusia. Selain itu masih
ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang
diselenggarahkan dengan upacra yang disebut Aswameda. Korban-korban ini
disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam Rigweda, irama musik
yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan
pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.untuk keperluan
sehari-hari korban oleh kepala keluarga Dari segi penyelenggaraan.
korban yang dilakukan hanya seorang pendeta
saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karen itu biasanya korban diselenggarahkan
oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyetir
bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu juga penting
karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan yang
cermata. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam
makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban
tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati.
Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan
biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacar
korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang diselenggarakan
bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain.korban diselenggrakann di rumah-rumah
atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang
disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum
atau beras. Kalu korban terseburt berupa bintatang, maka daging korban tersebut
tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang
ini merupakan bukti korgban manusia yang pasti diterimaoleh para Dewa.[11]
D. Praktek keagamaan
Dua macam upacara simbolok yang
penting ialah : pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam
kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah
menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara
universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh
manusia.
Dikalangan rakyat umum terdapat
beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa tempat,
upoaca tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang
sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri
oleh pemilik ruma hselaku penaggungjawab anggota keluarganya. Upacar ini juga
mementingkan api.[12]
Yang menjadi pusat pemujaan
orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu dipersembahkan dengan maksud
untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan roh-roh
yang jahat, dan emuja para leluhur. Pada hakikatnya korban yang dipersembahkan
kepada Dewa-dewa it bersifat permohonan, yaitu memohon
keuntungan-keuntunganbagi hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal-al
yang sudah dialaminya tidak ada.
Ada dua maca korban, yaitu korban
tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan
bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin. Disamping
tu ada orban berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan, umpamanya korban soma,
aswameda, atau koban kuda, rajasuya, dan sebgainya. Kecuali
korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang,
yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu
waktu diajak berpergianuntuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang
pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya.
Demikuanlah seluruh kehidupan orang pada zaman iitu meliputi oleh
upacar-upacara keagamaan.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama.
Jakarta: Galura Pase, 2006
Mahmoud, Abbas, Ketuhanan Sepanjang Ajaran
Agama-agama dan pemikiran Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga press, 1988
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-dasar
Agama Hindu, Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesia, 2010
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India,
Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia,
2009
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Budha,
Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif
Sejarah Agama-agama, Yogyakarta, 2002
Ana Yuliana dan Yudi Irawan, Agamaku Agamamu,
Bandung: Sidqah Semesta, 2007
[1] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesi, 2010),h. 6
[2] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2010),h. 6
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 60
[4] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 61
[5] Hanafih, Ketuhanan Sepanjang
Ajaran Agama-Agama dan pemikiran Manusia (Yogyakarta: Bulan Bintang,
1973),h. 60
[6] Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandimgan Agama ( Jakarta: Galura
Pase, 2006),h. 57
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 63
[8] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia,
2010)
[9] Harun, hadiwijono, Sari Filsafat India ( Jakarta: Gnung
Mulia, 1989 ),h. 14
[10] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 82
[11] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 83
[12] Harun, hadiwijono, Agama Hindu dan Budha ( Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2008 ), h. 20
[13] Djam’annuri, agama kita:Perspektif Sejarah Agama-agama (
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 45, cet II
Pendahuluan
Agama
Hindun timbul dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama (bangsa)
Dravida dan agama(bangsa)Arya.dalam perkembangannya di India lalu ada
usaha-usaha yang mempesonahkan untuk memasukan berbagai macam kepercayaan yang
ada, filsafatnya, dan praktek-praktek keagamaannya dalam suatu sistem yang
sekarang ini disebut dengan Agama Hindu.
Agama
bangsa Arya kita kenal dari kitab-kitabnya yang mengenai agamanya, yakni
kitab-kitab Weda (Weda artinya tahu). Oleh karena itu masa yang tertua dari agama
Hindu disebut masa Weda. Dalam tulisan kali ini penulis ingin sedikit
memaparkan tentang zaman Weda secara garis besar yag dibahas kali ini
Dewa-dewa, Roh-roh (jahat), Korban, dan praktek keagamaan.
1. Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa
Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah
sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima
aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai
pengembara cerdas, tangguh dan trampil.[1]
Zaman Weda merupakan zaman penulisan
wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan beragama pada zaman ini,
didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda Samitha, yang lebih
banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda secara Oral, yaitu
dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab suci
Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua ajarannya
bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama Hindu
mengakaui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda suci
Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa,
yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi
ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku
sepanjang masa. Namun demikian dikalangan sarjana, baik Hindu maupun Barat
telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda itu diwahyukan.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu
didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita,yang mereka yakini
sebagai ciptaan Brahma.[3]
Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebu. Isi Weda pada
mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian.
Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
Ø Rigweda.
Rigweda berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000
puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta)
terbagi lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan
orang mati, pembakarannya dan pengamburannya menurut umat Hindu, Rigweda ini
sangat penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama
mamoteistis dengan falsafah yang monistik [Itulah yang maha Esa. Orang-orang
suci memberinya agama yang bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan
Matariwan (Rigweda I, 164:44)].
Ø Samaweda.
Samaweda merupakan suatu bunga-rampai Rigweda, dan sangat menekankan pada
tanda-tanda irama music. Samaweda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian
dinyanyikan diikuti irama music oleh para pendeta yang disebut Udgatr,
dan biasanya dilakukan pada upacara korban diselenggarakan.
Ø Yajurweda.
Weda ini tidak hanya mnemuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan
tetapi mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda
memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan ketiga-tiganya
sering disebut dengan Triwedi.[4]
Ø Atharwaweda.
Para atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam weda ini dijumpai
kidung-kidung yang harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma. Isi Atharwaweda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri dianggap sudah
memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda tidak
terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang
khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan
dengan ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uraian
tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun pertarakan, juga
tidak ada ajaran avatara atau penjelmaan.[5]
Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti.
Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan
komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti
dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian
: [6]
1) Mantra
2) Brahmana
3) Aranyaka
4) Upanisad
A. Dewa-dewa
Dewa-dewa
yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia
dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan
dalam me-nyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam
Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas : Dewa-dewa langit, Dewa-dewa
Angkasa, Dewa-dewa Bumi.[7]
Dewa-dewa
langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata
dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna
memberikan hadia kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat.
Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya
diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya
digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya
yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa.[8]
Dewa-dewa
angkasa antara lain Dewa indra dan dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan
Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu
manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin
dipandang sebagai Dewa yang penting.
Yang
termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah
Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa
Api, yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah
yang meneruskan puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud.
Agni pula yang mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan
bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam
api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai
saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang
untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama; dan api untuk upacara penghormatan dean pemujaan arwah leluhur. [9]
Kemudian
Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan
yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban,
soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah
bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus
itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan soma itu saja.
Ada
beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya.
Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu,sikembar Aswin atau
Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas
(dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra (Dewa
taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting sebagai
personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau Brahaspati (Dewa
personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar (Dewa Guntur).[10]
Sekalipun
dalam agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan
politeistis karena ternyata Dewa tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para
Dewa yang lain. Dengan demikian hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang
memiliki segala kekuatan para Dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena
itu barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme
(henoteisme). Max Mller juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau
politeisme dalam ketuhanan agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme”
karena ada kecendrungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama
yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan
sebagai heneoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai
katenoteisme (khathenotheisme) karena dalam agam ini terdapat kecendrungan
untuk memuliakan dan mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang
diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun
kepadanya.
B. Roh-roh (jahat)
Menurut
kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat
ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang
kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan
diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa,
Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah
leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang
meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih
mengembara dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan
sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara.
Raja para pitara adalah Dewa Yama.
C. Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur
mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yamg selain dilakukan dengan
harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga
supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan serta
ketentraman. Tujuan utama melakukan upacar korban dalam agama Weda ini ialah
terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh pendeta yang mebujuk
dan merayu para Dewa untuk mengabulkkan permohonan manusia. Selain itu masih
ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang
diselenggarahkan dengan upacra yang disebut Aswameda. Korban-korban ini
disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam Rigweda, irama musik
yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan
pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.untuk keperluan
sehari-hari korban oleh kepala keluarga Dari segi penyelenggaraan.
korban yang dilakukan hanya seorang pendeta
saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karen itu biasanya korban diselenggarahkan
oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyetir
bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu juga penting
karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan yang
cermata. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam
makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban
tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati.
Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan
biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacar
korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang diselenggarakan
bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain.korban diselenggrakann di rumah-rumah
atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang
disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum
atau beras. Kalu korban terseburt berupa bintatang, maka daging korban tersebut
tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang
ini merupakan bukti korgban manusia yang pasti diterimaoleh para Dewa.[11]
D. Praktek keagamaan
Dua macam upacara simbolok yang
penting ialah : pertama korban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam
kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah
menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara
universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh
manusia.
Dikalangan rakyat umum terdapat
beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa tempat,
upoaca tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang
sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri
oleh pemilik ruma hselaku penaggungjawab anggota keluarganya. Upacar ini juga
mementingkan api.[12]
Yang menjadi pusat pemujaan
orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu dipersembahkan dengan maksud
untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan roh-roh
yang jahat, dan emuja para leluhur. Pada hakikatnya korban yang dipersembahkan
kepada Dewa-dewa it bersifat permohonan, yaitu memohon
keuntungan-keuntunganbagi hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal-al
yang sudah dialaminya tidak ada.
Ada dua maca korban, yaitu korban
tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan
bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin. Disamping
tu ada orban berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan, umpamanya korban soma,
aswameda, atau koban kuda, rajasuya, dan sebgainya. Kecuali
korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang,
yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu
waktu diajak berpergianuntuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang
pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya.
Demikuanlah seluruh kehidupan orang pada zaman iitu meliputi oleh
upacar-upacara keagamaan.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama.
Jakarta: Galura Pase, 2006
Mahmoud, Abbas, Ketuhanan Sepanjang Ajaran
Agama-agama dan pemikiran Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali, Mukti, Agama-agama Di Dunia, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga press, 1988
Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-dasar
Agama Hindu, Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesia, 2010
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India,
Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia,
2009
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Budha,
Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif
Sejarah Agama-agama, Yogyakarta, 2002
Ana Yuliana dan Yudi Irawan, Agamaku Agamamu,
Bandung: Sidqah Semesta, 2007
PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hinduiesme”
Dosen
Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Disusun oleh:
Ida zubaedah (1111032100032)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
[1] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesi, 2010),h. 6
[2] Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu, Dasar-Dasar Agama Hindu (Jakarta:Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2010),h. 6
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 60
[4] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 61
[5] Hanafih, Ketuhanan Sepanjang
Ajaran Agama-Agama dan pemikiran Manusia (Yogyakarta: Bulan Bintang,
1973),h. 60
[6] Thalhas, Pengantar Study Ilmu Perbandimgan Agama ( Jakarta: Galura
Pase, 2006),h. 57
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 63
[8] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia,
2010)
[9] Harun, hadiwijono, Sari Filsafat India ( Jakarta: Gnung
Mulia, 1989 ),h. 14
[10] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 82
[11] Honig, Ilmu Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 83
[12] Harun, hadiwijono, Agama Hindu dan Budha ( Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2008 ), h. 20
[13] Djam’annuri, agama kita:Perspektif Sejarah Agama-agama (
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 45, cet II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar