Kamis, 20 Desember 2012

respon Papers Filsafat Mimamsa



Responding paper filsafat mimamsa
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Hindhuisme

Disusun oleh:
Ika Wahyu Susanti (1111032100039)







JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

Pendahuluan
Sembah sujud kepada Sri Jaimini, pendiri sistem filsafat Purwa Mimamsa, murid dari Bhagawan Sri Wyasa. Purwa Wiwamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Weda. Suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Weda atau bagian weda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja.
Sistim Mimamsa
Mimamsa pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu Purwa Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Mimamsa tergolong Sad Darsana yang benar-benar mendasarkan ajarannya pada kitab Weda. Purwa Mimamsa menguraikan bagian pertama dari kitab Weda yaitu kitab Brahmana. Sedang Uttara Mimamsa menguraikan bagian kedua yaitu kitab Upanisad. Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda. Purwa Mimamsa atau biasa disebut dengan Karma Mimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda. Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul;. Mimamsa biasa disebut Karma Mimamsa karena dalam prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaan upacara agama untuk mencapai tujuan[1].

Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM, denagn ajaran pokoknya diuraikan dalam kitab Mimamsa-sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam Mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti: Sabaraswamin sekitar abad ke-4 M  dan Prabhakara sekitar tahun 650, serta yang terakhir olek Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Maka, dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak adalah pengikut Prabhakara dan kedua ialah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.
Istilah “Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memperhatikan, menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemeriksaan atau penyelidikan dari pada Weda, lantaran ia memperoleh suatu pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan Kebenaran[2].
Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”; sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang. Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation)[3].
Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang.
Mengenai cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajar lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam itu ialah[4]:
a.       Pengamatan (pratyaksa)
b.      Penyimpulan (anumasa)
c.       Kesaksian (sabda)
d.      Pembandingan (upamana)
e.       Persangkaan (arthapatti)
f.       Ketiadaan (anupalabdhi)
Pangkal fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar interprestasi seluruh Weda. Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan:
1.      Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi.
2.      Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3.      Dalam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4.      Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5.      Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu[5]: Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu[6]:
1.      Bumi                                                        6. Akal
2.      Air                                                           7. Pribadi
3.      Api                                                           8. Ruang
4.      Hawa                                                       9. Waktu
5.      Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
Weda
Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya serta bersifat kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia.
Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[7]:
       I.            Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah,merupakan koleksi dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya.
2.      Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3.      Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu:
a.       Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.
b.      Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam.
    II.            Brahmana
1.      Hetu – akal budi
2.      Nirvacanam – penjelasan
3.      Ninda – gugatan; kritik
4.      Prasansa – pujian
5.      Samsaya – kesangsian
6.      Vidhi – perintah
7.      Parakirya – perbuatan suatu individu
8.      Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’.
9.      Vyavadharanakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya
10.  Upamana – perbandingan
Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia.


Hukum Karma
Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan[8]. Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma (korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengaharapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak  jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9].
Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui.
Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak. 
Daftar Pustaka
D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980
I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990



[1]I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 37
[2] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 27
[3] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 28
[4] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 37
[5] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 40
[6] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 40
[7] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 30 
[8] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 41
[9] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar