Filsafat
Wedanta
Aliran
Wasistadwaita dan pemikiran tokohnya
Aliran
Dwaita dan pemikiran tokohnya
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Hinduisme
Oleh
:
Moh
Muhyidin
(1111032100052)
Jurusan
Perbandingan Agama
Fakultas
Ushuluddin
UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2012
A.
Pendahuluan
Upanishad-Upanishad membentuk dasar dari falsafah Wedanta. Wedanta
merupakan dasar kebudayaan India. Ia adalah filosofi nasional India. Ia
merupakan Mokshasastra atau Pengetahuan Emansipasi Wedanta berpegang pada
realitas Jiva yang tidak kasat-indriya, bersifat imanen dan transenden. Ia
bukannya mengecualikan materi. Ia tidak mengecualikan apapun. Kesatuan dari
semua keberadaan, adalah apa yang diajarkan oleh Wedanta. Ia telah menjaga
masyarakat Hindu untuk tetap hidup hingga kini. Wedanta adalah satu-satunya
filosofi yang dengan lancang menyebut Tuhan secara langsung, dan bukannya hanya
menyebut anak Allah ataupun hamba Tuhan. Ia memproklamasikan dengan penekanan
pada, bahwa sesungguhnya Andalah Keabadian itu; semuanya terlingkupi oleh
Atman, Jiwa Universal atau esensi dari Brahman Yang Agung.
Kepolosan adalah ciri kunci dari Wedanta. Pesan-pesan yang
tersampaikan dalam Wedanta membebaskan dari ketakutan, dan menghantarkan pada
kebangkitan kekuatan-jiwa dan penyatuan kesadaran. Wedanta tidak mensyaratkan
konversi ataupun proselitasi, namun penelusuran kembali secara mendalam
terhadap paradigma manusia-ilahi.Wedanta bukanlah krida atau pernyataan
kebulatan tekad, bukan juga sekedar seremoni atau bentuk-bentuk kebaktian. Ia
adalah pengetahuan tentang kebajikan hidup. Ia bukan semata-mata monopoli umat
Hindu atau para pertapa saja. Ia untuk semua.
Wedanta tak punya pertentangan dengan agama manapun. Ia
mengajarkan prinsip-prinsip universal. Wedanta-lah satu-satunya agama
universal, dan abadi. Ia adalah suatu pemahaman tingkat tinggi. Ia menyatukan
semua. Ia memberi keleluasaan bagi semua. Wedanta mencakup seluruh ajaran agama
yang ada di dunia dan cukup kuat untuk menjadikan mereka semua bermanfaat dan
bertahan. Wedanta tidak pernah ikut campur pada bentuk-bentuk. Ia hanya
berkepentingan pada kehidupan dari agama-agama itu. Kaum Kristiani tak perlu
lagi menyuarakan Kristianitas-nya, Buddhis bisa tetap berpegang teguh pada
Jalan Utama Beruas Delapan (Noble Eightfold Path)-nya, Muslim bisa tetap
berpegang pada Quran, dan semuanya bisa memahami Wedanta serta merealisasikan
semua idealisasi-idealisasi dan kebenaran-kebenaran tinggi yang dikandungnya.
Dalam makalah ini, kita akan membahas dua dari empat aliran
dalam filsafat Wedanta secara terperinci. Yaitu aliran wasistadwaita dan
dwaita. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Wasistadwaita dan
Dwaita mulai dari pengertiannya, para tokohnya, ajaran-ajarannya dan
lain sebagainya.
B.
Wasistadwaita
Pemecahan sangkara
terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di satu
pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi di
lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan
sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna
dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan.Setelah jaman
sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di
pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).[1]
Pemecahan yang lain diberikan oleh
Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan
filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya[2]dan menulis
komentar tentang Bhagawadgita.Aliranya di sebut dengan
Wasistadwaita.Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita.Wasista
berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh
sifat-sifatnya.Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh
sifat-sifatnya.[3]
Cara Ramanuja menjelaskan
pandanganya itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa” pada
umumnya.Di dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal yang
sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar
adalah merah.Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat.
Jadi keduanya tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah
keduanya itu sama: “mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita
menyamakan dua hal yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”.
Aku adalah jiwa yang hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana.
Oleh karena itu keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan
seperti yang terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan
kepada orang dan pakaian atau orang dan
tongkat sebagainya.Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan
sebagainya.Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau
orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa:
a) Hubungaan antara “Mawar” dan “Merah”
serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan hubungan antara “orang
dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama hubungan kedua unsur itu
lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan orang dan pakaian atau
orang dengan tongkat.
b) Bahwa hubungan yang terdapat pada orang
dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat
antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah merupakan
hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah” merupakan
hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan orang laki-laki”
adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan
laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama dinyatakan oleh kata
yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan oleh
laki-laki).Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi).Dengan
demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman dengan
dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu lagi
badani.Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada Brahman.
Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa dengan badan
manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia.Brahman adalah jiwanya
dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia.Ketiganya dapat di gambarkan sebagai
dua lingkaran yang berpusat satu.Pusatnya adalah Brahman, sedangkan jiwa adalah
lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah
lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau demikian, maka dapat
dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata (riil)
namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang sama, seperti
halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak
identik.[4]
Kesimpulanya adalah
bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada:
berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran Adwaita
menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu.Di dalam
Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh
sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta
menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala
ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu
kesatuan, yabg terdiri dari;
a) Subtansi benda yaitu bunga.
b) Penguraiannya dengan kedua kualitas yang
berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu kualitas, “kebiruan” dan
“keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur yang kedua bergantung
kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga unsur itu berada
secara simultan atau pada waktu bersamaan.[5]
Suatu contoh yang lain,
jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang tersebut dua puluh
tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang sudah jejaka,
tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma pada bayi
itu sekarang menjelma pada jejaka.Jiwanya adalah satu.Disini ketiga unsur;
jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu yang
bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.[6]
Kesimpulanya ialah baik
yang dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang
menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan.
Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah
Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran
yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan jiwa dan dunia tetapi di lain pihak disamakan
juga.
Ramanuja berpendapat;
“Memang benar Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia
juga mengatakan “Memang benar Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia
ketigannya tidak dapat dipisahkan.sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah
pemisahan ini sehat ? sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan
Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan
ajaran Upanisad.
Unsur-unsur
kebenarannya adalah:
a) Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa
dan berbeda dengan dunia.
b) Tuhan adalah pengawas dan tidak ada
akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan didalam dunia ini.
Mengenai
kategori-kategori diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang
bukan subtansi yaitu kualitas atau sifat.
Yang dimaksud dengan
subtansi adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun Ramanuja mengajarkan
adannya enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini hanya tiga saja yang
menjadi pembicaraan yang penting.
C.
Dwaita
Aliran
ini menganggap dirinya sama tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat
menentukan apakah anggapan itu benar ?yang jelas ialah orang yang terkenal atau
sebagai tokoh yang terkenal atau sebagai tokoh aliran ini adalah madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan
dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.[7]
Dwaita mula-mula
berpengaruh dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya menjalar
kebagian yang lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu sehingga
dikenal sebagi Purnaprajna artinya: orang yang telah mendapat fikiran yang
sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang
gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab
Upanisad.Atas kitab Bhagawadgita dan
Wedanta – sutra serta beberapa
tulisan lainya.
Sistim ?Wedanta seperti
yang dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita
(dualis) sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah
perbedaan (bheda).Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia
ini nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis, karena
menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri
sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya
manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.[8]
Dasar ajaran Madhwa
adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semua mampu
mempunyai cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan
perbedaan-perbedaan.Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu yang
mempunyai wujud tersendiri.Umpama; sapi sendirinya berbeda dengan
kambing.Menyebut sapi dengan sendirinya menunjuk perbedaannya dengan kambing
dan sebaliknya, menyebut kambing dengan sendirinya menunjuk kepada perbedaan
kambing dengan sapi. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du
hal sekaligus, guna untuk mengetahui
perbedaan kedua itu demikian pula halnya dengan filsafat tidak mampu
membedakan sekaligus, tanpa mengenal satu persatu terlebih dahulu.
Menurut Madhwa di dunia
ini ada lima macam perbedaan yaitu:
1) Perbedaan antara Tuhan dengan Jiwa,
2) Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa yang
lainya,
3) Perbedaan antara Tuhan dengan benda
4) Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
5) Perbedaan antara benda yang satu dengan
benda yang lainya.
Semua itu berbeda
berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semua itu
tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada jiwa,
sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak
bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya
bergantung pada Tuhan.
Tuhan , jiwa dan benda
ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka
dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan adalah kenyataan yang
tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali. Walaupun tuhan dapat di
mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh umat secara menyeluruh
dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan pengetahuan dan kegirangan itu
adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa
didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap jiwa berbeda
dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki pengalaman
sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri, dan
seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh
ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal
sebenarnya jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus
oleh karma wesana maka jiwa-jiwa itu
ikut menderita, sengsara dan pada
saatnya akan kembali numitis ke dunia ini.[9]
Secara umum dijelaskan
bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
a) Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal
(nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti Wisnu,
b) Jiwa-jiwa yang telah mencapai kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para
Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
c) Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha),
oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada dua kelompok yaitu:
1) Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti
yogya),
2) Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan
lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
a. Jiwa yang untuk selamanya terikat akan
hukum samsara.
b. Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum
samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan menjadi jenis yang lebih
rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa yang dideritanya.
Ajaran Dwaita tentang
proses terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran Nyaya dan
Waisesika, akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada bedannya.
Menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat (manas), sehinnga
pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi manusia. Namun dalam
proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi pelakunnya, sebab
pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada hubungan antara
pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar
manusia.Pengetahuan yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah
“apa yang tidak ada” (asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki
seutas tali sebagai seekor ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya –
Waisesika mengajarkan, bahwa ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu,
melainkan di tempat lain. Dwaita berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di
tempat itu, maupun di tempat lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa
yang tidak ada di sangka ada. Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada
secara kenyataan, hanya bayangan saja yang menyebutkan ada seperti melihat
ular, padahal tidak ada ular yang ada hanya tali saja,.Orang-orang pada umumnya
bingung, menyangka yang sesungguhnya tidak ada dikatakan ada; hal ini di
sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia yang disebut dengan Awidya.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan uraiaan
tersebut di atas dapatlah disimpulkan materi pokok yang di uraikan dalam
filsafat Wedanta antara lain mengenai; Brahman, Atman/Jiwa dan Dunia.Pandangan
terhada masalah ini timbul bermacam-macam pendapat sehingga menimbulkan
aliran-aliran filsafat Wedanta.
1. Aliran Wasistadwaita, dipelopori oleh
Ramanuja yang mengajarkan bahwa di samping Brahman itu Nirguna Brahman, Jiwa
dan dunia memang ketigannya berbeda dan sama-sama kekal, tetapi tidak dapat di
pisahkan, merupakan satu-kesatuan organis. Brahman menciptakan dunia ini
betul-betul pernama melalui prakerti Brahman. Tujuan hidup menurut Ramanuja
adalah untuk mencap[ai alam Narayana, menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang
sempurna.
2. Aliran Dwaita dipelopori oleh Madhwa,
pokok ajaranya adalah perbedaan (bheda), mengakui kenyataan yang beraneka ragam
di dunia ini dengan cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan.
Dengan jiwa dan berbeda pula dengan dunia, sebab semuannya mempunyai ciri dan
sifat tersendiri, tetapi semuanya saling bergantungan; dunia bergantung kepada
Jiwa, Jiwa bergantung pada Brahman tetapi bukan sebaliknya. Tujuan hidup
menurut Madhwa adalah untuk melepaskan diri dari segala keterikatan dengan
jalan meninggalkan Awidya (kebodohan).
Daftar Pustaka
Ali, Matius. Filsafat India (Pebuah Pengantar
Hiduisme dan Hinduisme).Tangerang : Sanggar Luxor, 2010.
Ali, Mukti. Agama-agama Dunia, Yogyakarta :
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Hadiwijono, Harun, Sari filsafat india,
Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia,
2009
Suarjaya, I
Wayan, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta: Gunung Mulya, 1990.
Hiriyanna, M. outlines of Idian Philosophy, Lodon :
George Allen & Unwi Ltd., 1964.
[1]Yayasan Dharma
Sarathi, Tattwa Sarathi, hal. 76.
[2]Sri Bhasya adalah kitab yang dikarang oleh Ramanuja pada
tahun 1050-1137 M, yang menerangan kitab weda dan aliran aliran didalamnya
seperti wasistadwaita dan dwaita.
[3]Hadiwijono, Harun,
Sari Filsafat Idia, hal. 13.
[4]Yayasa Dharma
Sarathi, ibid, hal. 82.
[6] Honig, Ilmu
Agama, hal. 102.
[7]Yayasan Dharma
Sarathi, ibid, hal. 85.
[9] Hiriyanna, M. Outlies
of Indian philosophy, Lodon : George Allen & Unwi Ltd., 1964.hal. 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar