SEKTE-SEKTE
DALAM AGAMA HINDU
Makalah
(Revisi)
Disusun
untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Hinduisme
Oleh:
Annisa
Fachraddiena (1111032100036)
PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
I.
Pendahuluan
Tuhan Yang Maha Esa
adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang ada yang pernah ada dan yang
akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) maupun yang sersifat tidak nyata
(niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud
nyata akan kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas
bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh
kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang luasnya alam semesta
ini, masih tetap tak terbayangkan. Di langit kita melihat bintang dengan
ggugusannya, di atas bintang masih ada langit dengan gugusan
bintang-bintangnya. Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat
dilihat, galaksi yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang, dan planet-planet yang mengorbit pada
masing-masing bintang atau tata surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang
sangat jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan luas yang tiada batasnya
ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau
dibantu dengan teknologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya
alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha
Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
Setelah memahami kemaha
agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode mendekatkan diri
kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan dan rasa sujud
bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia
untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan
sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk
umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama
dalm kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran
kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan
upacara. Seperti dalan agama Hundu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte
Sakti
Agama Hindu adalah salah satu agama
besar dan tertua di dunia. Ajarannya mengalir dari Veda dalam berbagai-bagai bentuk pelaksanaan hidup beragama.
Peradaban Hindu bukanlah sesuatu yang berumur pendek. Sejarahnya bermula ribuan
tahun yang lalu, lima ribu bahkan sepuluh ribu tahun yang lalu. Kenyataannya
bahwa agama atau kepercayaan yang ajarannya bersumberkan pada ajaran Veda bertahan hingga saat ini walaupun
telah terjadi pergolakan sosial politik dan serangan gencar terhadapnya dari
masa ke masa. Beranjak dari serangan gencar dan reaksi agama terhadapnya
mungkin memberinya beberapa sinar pada kekuatan batinnya. Berikut adalah
beberapa serangan keagamaan yang lebih penting terjadi di India, yaitu :
a.
Pengaruh agama Buddha.
Pengaruh sangat kuat yang
pertama adalah dari agama Buddha; sebagai suatu sekte tanpa kompromi terhadap
agama Veda yang lahir pada abad ke 6
Sebelum Masehi. Agama ini berhasil menguasai separuh daratan India, untuk
menerima agama asli dalam pengertian etika terbatas; dengan meniadakan
upacara-upacara dan hal-hal yang bersifat metafisika. Dan pada saat itu Sankara
menginginkan samparadaya atau parampara yang didirikan terkemuka di
dalam pemahaman teks (kitab suci). Hal tersebut adalah merupakan ancaman
terhadap perkembangan agama Buddha saat itu, dan menjadi pelaku utama dalam
reformasi terhadap ajaran agama Hindu. Sankara menuntut disiplin yang keras dan
kemajuan aktivitas intelektual. Ia mendirikan pusat pengembangan (matha) Advaita di empat penjuru India.
b.
Serangan dari agama Islam.
Pada
masa-masa awal agama Islam, pelaut-pelaut Islam dari Arab oleh raja Hindu
diijinkan bermukim di Malabar. Bangsa Arab menyerbu dan menaklukkan Sindu pada
tahun 711 M. Tetapi mereka tidak dapat maju lebih jauh dan tak pernah muncul
kembali sebagai penyerbu. Gelombang penyerbuan Islam lainnya terjadi lagi pada
abad ke 11, dan akhirnya sebagian besar daratan India diperintah oleh raja-raja
Islam selama 500 tahun atau lebih. Pada masa itu kekuasaan Islam telah
menaklukkan dan mengislamkan hampir setiap orang dinegara-negara besar seperti
Persia, Turki, Mesir, Afganistan dan sebgain Eropa. Pada akhir zaman keemasan
Islam awal abad ke 18, sebelum penganut-penganut baru yang berasal dari
golongan tertindas seperti di Bengali Timur, termasuk orang-orang yang belum
sepenuhnya masuk agama Buddha, Orang-orang suci agung bangkit dan membentuk sekte-sekte
keagamaan avit,n,Vais dan Śivait yang bersifat demokratis dan
menampilkan pemujaan missal melalui kepercayaan pengabdian (bhakti).
c.
Serangan dari agama Kristen.
Tidak lama setelah
meninggalnya pendiri agama Kristen, para misionaris beroperasi di beberapa
bagian Eropa dan dimana-mana agama baru itu menggantikan agama lama. Pemujaan
Odin dan agama bangsa Druid demikian pula penyembahan berhala di Yunani dan
bangsa Romawi menjadi punah setelah orang-orang beralih ke agama Kristen.
Seorang Apostel (rasul), St. Thomas datang di India pada abad pertama dan
menyebarkan agama Kristen di Kerala (Travancore-Cochin). Untuk kedua kalinya
agama Kristen di bawa ke India pada abad ke 16 oleh bangsa Portugis. Dan
gelombang ketiga agama Kristen dibawa oleh misionaris pada masa penjajahan
Inggris. Pada masa ini keadaan tidak berimbang. Pihak Kristen merupakan
pemerintah penganut pengetahuan ilmiah baru dunia modern dan memiliki prestise
serta kekuasaan; sedangkan di pihak Hinduisme tergolong bangsa yang masih
bodoh, yang hampir tidak mempunyai pemimpin. Pada saat itu terjadi
goncangan-goncangan dalam agama Hindu. Beberapa orang Hindu yang berpendidikan
Barat meninggalkan agama mereka. Tetapi akibatnya timbul reaksi yang aneh dan
kuat. Untuk mengendalikan pertumbuhan Islam dan Kristen ini maka muncullah
banyak sekte-sekte modern dalam Hinduisme mulai dari Caitanya, Para Radhasvami,
Brahma samaj, Arya Samaj dan lain-lain. Kemunculan sekte-sekte baru ini
adalah merupakan wujud reformasi dari ajaran Hindu yang sudah tidak relevan
lagi dengan situasi dan kondisi saat itu.
Di samping apa yang telah dijelaskan di atas, tetapi
kalau kita berbicara mengenai Hinduisme, maka pada permulaannya setiap orang
akan dihadapkan kepada kesulitan untuk memberi batasan, Hinduisme itu
sebenarnya apa. Pengertian “Hindu” semula aslinya adalah mengartikan suatu
wilayah dan bukan suatu kepercayaan. Dia mengartikan suatu tempat pemukiman
yang memiliki batas-batas geografis yang jelas. Masyarakat yang menghuni sisi
India dari Sungai Sindhu disebut Hindu oleh orang Persia dan juga oleh
penyerbu-penyerbu yang datang belakangan dari Barat (Radhakrishnan, 2002 : 15).
Dari Punjab kebudayaan Ārya ini mengalir sepanjang lembah Gangga, di mana mereka bertemu
bangsa-bangsa primitive termasuk bangsa Dravida. Kebudayaan Hindu dinamakan
demikian, sebab leluhur aslinya atau pengikut-pengikutnya yang paling terdahulu
mendiami aliran Sungai Sindhu. Ketika kebudayaan ini menyebar keseluruh India,
dia mengalami berbagai perubahan, tetapi tetap saja membawa kebudayaan Veda lama yang mereka kembangkan dahulu
di lembah Sungai Sindhu (Ibid, 2002 : 15).
Di masa lampau dalam era yang berbeda-beda, orang akan
menemukan suatu kepercayaan keagamaan yang bersamaan coraknya dengan agama yang
ada dalam kitab-kitab Veda yaitu
pengungkapan kepercayaan yang sangat tua pada peradaban bangsa Ārya; dimana menurut kepercayaan ini
Tuhan dipuja sebagai Yang Esa dalam Yang Banyak dan Yang Banyak dalam Yang Esa.
Istilah “henoteisme” yang diberikan
oleh Max Muller, mencakup sebagian dari konsep ini. Perpaduan metode spiritual
yang ditampilkan oleh henoteisme Veda
ini bukan hanya memberikan rasa toleransi dan merasa akrab dengan Tuhan agama
lain, tetapi juga menerima Tuhan agama lain sebagai Tuhannya sendiri dan
sebagai keTuhanan Yang Esa. Yang terakhir ini secara nalar agak
membingungkan, namun telah menjadi bagian pengalaman mistik orang-orang suci
dan para arif bijaksana sepanjang zaman. Henoteisme atau kepercayaan Advaita ini merupakan kekuatan yang
hebat dalam kehidupan spiritual di India, walaupun dalam bentuknya yang
konfrehensif ia merupakan gambaran yang khas dari Veda.
Dan dalam kenyataannya juga tidak bisa dibantah karena
orang-orang yang berdiam di India terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda,
menyembah dewata yang berbeda dan memiliki upacara-upacara yang berbeda.
Sumber tertua yang memberikan informasi tentang
keberadaan sampradaya atau sekte
adalah kitab Itihasa, yakni kitab Mahabharata (Anusasanaparva 141) yang
menyatakan asal 4 sampradaya sebagai sampradaya
tertua, yaitu : kuticaka, yaitu yang
mempraktekkan kehidupan beragama dalam kehidupan berkeluarga, baudaka, yang tinggal dekat pemukiman
dan hidup dari pemberian, hanya dari keluarga para Brahmana (pandita/dvijati), hamsa, terjemahan harfiahnya “angsa”,
yakni para pertapa yang hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain,
sangat mengurangi kehidupan duniawi, dan paramahamsa,
mereka yang tidak memiliki rumah, meninggalkan segala sesuatu, termasuk mangkuk
tempat menerima pemberian, tongkat, pakaian mereka, suatu kondisi melepaskan
diri dari penderitaan dan kebahagiaan, keberuntungan dan bebas dari umur tua
dan kematian (Klostermaier dalam Titib, 2003 : 46).
Kitab-kitab Purana juga menunjukkan pengelompokan yang
bersifat sekterian, yang terdiri dari Brahmaistik,
Visnuistik dan Sivaistik. Akan
tetapi, dapat ditambahkan bahwa kitab-kitab Purana yang Visnuistik juga mengajarkan identitas Brahma, Visnu dan Siva (Winternitz
dalam Titib, 2003 : 47). Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bagi kita bahwa
kitab-kitab Purana memberi informasi kepada kita tentang eksistensi, yang
memberi rona dan mewarnai kehidupan agama Hindu pada masa sesudahnya.
Kembali kepada Hinduisme, maka di dalam memahami
ajaran Hindu, disamping kitab suci Veda
(Sruti) yakni wahyu Tuhan sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hirarki
sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Smrti (kitab-kitab Dharmasastra atau kitab-kitab
hukum Hindu), Sila (yakni tauladan
pada maharesi yang termuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Purana
(sejarah kuno), Acara (tradisi yang
hidup pada masa yang lalu yang juga termuat dalam berbagai kitab Itihasa, dan Atmanastuti, yakni kesepakatan bersama
berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharesi dan orang-orang bijak.
Veda
memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu
Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap
kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan
pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah
keyakinan dan pemujaan. Ia tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun
ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma ataupun
bentuk-bentuk pemujaan tertentu.
Karena sifat ajaran Veda sangat universal, bebas, toleran dan luwes, maka dalam
perkembangan kebudayaan Veda
selanjutnya termasuk di luar India, sosiokultural lokal hampir selalu menjadi
media pelaksanaannya. Di samping itu pula, dengan adanya kebebasan bertafsir,
dan di mana tafsir tersebut dapat juga dikemas menjadi bentuk pemujaan, maka
akibatnya bentuk pemujaan kepada Tuhan dan bentuk ibadahnya bervariasi dari
satu tempat ke tempat lain walaupun intinya sama. Dan tentang kemerdekaan
memberikan tafsiran terhadap ajaran Hindu, di dalam Mahabharata dapat dijumpai
sebuah pernyataan : “Bukanlah seorang
maharesi (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahaminya”
(Radhakrishnan dalam Titib, 2003 : 43). Inilah salah satu ciri atau
karakteristik dari agama Veda
(Hinduisme).
Dari perjalanan sejarah yang sangat panjang tersebut, Hinduisme sangat
mudah dan secara terus menerus menyerap adat istiadat dan gagasan dari
orang-orang dengan siapa mereka mengadakan hubungan. Sehingga dengan demikian,
dalam Hinduisme akan sulit dirasakan untuk menemukan suatu bentuk-bentuk
keseragaman yang dapat dianggap sebagai dari bentuk-bentuk yang demikian yang
beraneka ini.
Jadi, agama Veda (Hindu) bukanlah agama tunggal
dengan keyakinan terbatas. Ia lebih bersifat gabungan dari berbagai
kepercayaan. Di dalamnya ditampung segala type manusia dan disediakan hidangan
spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya
masing-masing. Agama Hindu bagaikan sebuah museum yang di dalamnya terdapat
bermacam-macam ajaran dari kelompok filsafat Vedanta. Dan karena keuniversalan dan keluwesan Veda tersebut maka muncullah
berbagai macam sekte dalam agama Veda
(Hinduisme). Namun demikian, perbedaan di antara sekte-sekte di dalam Hinsuisme
tidak lebih hanya pada permukaannya saja dan Hindu tetap saja merupakan satu
unit kebudayaan dengan cirinya sendiri, dengan persamaan sejarah, kesusasteraan
dan peradaban.
III.
Sekte-sekte
dalam Agama Hindu
a. Sekte
Bhakti
Sekitar tahun 500 SM,
muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang
mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan
kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya
kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan
kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil
tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan
tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang
terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci lainnya sambil
mengucapkan beberapa doa.[2]
Urain tentang bhakti
terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan
Shadilya Sutra. Kitab ini banyak
membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India.
Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan
juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem
keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan
diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan
kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata
dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya
kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada
meditasi falsafi.[3]
Wujud bhakti memiliki
jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang
beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[4]
Menghormati adalah
pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang
nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama makhluk
hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah
memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan
perputaran roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud
bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan
baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi
berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam
pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan
rasa tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud
bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak
mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu segala
dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud rendah hati,
sebagai wujud kesadaran akan
keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah adalah bentuk
bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan penuh kepasrahan
terhadap kemaha agungan Tuhan.
b. Sekte
Wisnu
Sekte ini lebih
mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat sympatik bagi
mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya
antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat
memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu cukuplah
bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri
kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu
dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut
diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya
menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan
jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka
kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara
tersebut adalah:[5]
(1) Matsyavatara,
berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia
yang akan menenggelamkannya.
(2) Kurnavatara,
sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna
mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan
mengalami hidup kekal abadi.
(3) Narashimha,
sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa
dibunuh olehsiapapun.
(4) Varahavatara,
sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat
itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5) Vamanavatara,
sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka.
Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya
Bali)
(6) Budhavatara,
sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu
palsu.
(7) Parasuramvatara,
sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya
yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8) Ramavatara,
rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia
kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak
rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana
serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan
dalam kitab Ramayana).
(9) Kalkiavara,
sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami
kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10) Kresnavatara,
sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura
kemenakan Kresna).
Semua avatara Wisnu
tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkantentang
kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di dunia dan
manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu
biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya
pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka
disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[6]
c. Sekte
Siwa
Penganut Hindu dari sekte Siwa
meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh
pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra
Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.
Mantra ini digunakan untuk mendapat
pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian
sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut: [7]
- Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
- Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
- Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
- Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
- Om Ang Suksma Siwaya namah
- Om Ang Anta-kala Siwaya namah
- Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
- Om Ang Parama Siwaya namah
- Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
- Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
- Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
- Om Ang Sada Siwaya namah
- Om Ang Parama Siwaya namah
- Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan
meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya
mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
- Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
- Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
- Mantra nomor 3 untuk perut
- Mantra nomor 4 untuk pusar
- Mantra nomor 5 untuk hati
- Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
- Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
- Mantra nomor 8 untuk mata kanan
- Mantra nomor 9 untuk mata kiri
- Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
- Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
- Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
- Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
- Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk aliran
ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini, karena ia
dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan
akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan
matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan
Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai
tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat.
Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa atupun
yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa
Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka
membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai
guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat
(cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi
Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas
merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[8]
Jadi keistimewaan Dewa
Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain
kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan
korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan
pendeta-pendetanya.
d. Sekte
Sakti
Paham Saktiisme, atau disebut juga Kalaisme,
Kalamukha, atau Kalikas (Kapalikas),adalah paham
yang dianut oleh penduduk asli India, Karena pengikut sekte ini kebanyakan
penduduk asli India, maka oleh bangsa Arya disebut Sudra Kapalikas.
Aliran ini memusatkan pemujaan
terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali). Sebagai sakti
(istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu
sendiri. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini
disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada), artinya “Dewi Durga adalah obat
yang paling mujarab” dalam zaman kekacauan moral, pikiran, dan perilaku.
Pengikut Saktiisme ini tidak
mengikuti sistem kasta dan Veda (Weda). Dalam menunaikan
ajaran, pengikutnya melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan
pemahamannya menjadi pemuasan nafsu; maka dari itu akhirnya aliran ini
dikucilkan dari Veda, keluar dari Hindusme.[9]
Sebenarnya aliran ini
masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang
disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga, dan
karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai
salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah
kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti
tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip
pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala
sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu
persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[10]
Persatuan antara Siwa
dan Saktinya adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan
sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang ssangat
penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan
tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk
tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik.
Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan
ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada
kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa)
manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan
kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatuadalah
perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.[11]
Kesadaran in dapat dicapai melalui
beberapa tahap, yaitu:
·
VedaCara
Yaitu
melakukan korban dan mengucap mantra. Ini disebut Kriya-Marga.
·
VaisnavaCara
Yaitu
Bhatiseperti yang dilakukan pada aliran wisnu (disebut Bhakti-Marga)
·
SaivaCara
Yaitu jalan
penalaran untuk mengenal sifat siwa yang sebenarnya(jalan pengetahuan, atau Jenana-Marga)
·
DaksinaCara (Jalan Kanan)
Yaitu jalan
orang yang sudah sadar akan sifat siwa yang sebenarnya sehingga sesembahan dan
puja tidak lagi ditujukan kepada siwa, tetapi kepada saktinya.
·
VamaCara (Jalan Kiri)
Yaitu jalan
bagi orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dan dilakukan dibawah
bimbingan seorang guru. Dalam tingkatan ini seseorang menjadi sadar bahwa segala
sesuatu adalah sakti, baik. Yang harus dinyatakan dalam amalan yang terlarang
bagi awam.
·
SiddhantaCara
Yaitu jalan
kesadaran sejati, jalan keinsyafan. Berlaku hanya dikalangan orang yang sudah
tidak lagi terikat oleh kebiasaan umum. Bagi merfeka segala sesuatu adalah
baik.
·
KaulaCara
Yaitu jalan
orang yang sudah sadar dan menghayati bahwa segala sesuatu adalah sakti dan
satu dengan siwa. Orang seperti ini telah mencapai moksa sewaktu masih hidup
didunia ini.
e. Sekte
Tantra
Sebenarnya
sekte ini dapat dimasukkan sebagai bagian dari sekte Sakti, tetapi karena
beberapa pertimbangan dianggap sebagai salah satu sekte sendiri dalam agama
Hindu. Aliran ini disebut dengan Tantranaya
karena mendasarkan diri pada kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra merupakan perpaduan yang sinkretistik dari
berbagai macam kepercayaan, termasuk keperayaan primitif di India. Aliran ini
juga terdapat pada agama Budha; sementara dalam agama Hindu terdapat dalam
kalangan para pemuja Siwa.[12]
Kajian Sejarah
Beberapa
orang Indolog beranggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Dewi (Mother-Goddes)
yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di
Pakistan) dalam kurun waktu sebelum zaman Weda, dengan Konsep Mahanirwana
Tantra, Konsep ini berpangkal pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang
Sada-Siwa yang membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk
menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber
Dewi Durga juga disebut Candi. Dan sinilah pada mulanya muncul istilah “candi”
(candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah
yang telah suci, Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran
moral dan perilaku disebut Kalimosada (Kali-maha-usada,) yang artinya Dewi
Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan
perilaku; sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.
Dan
konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang mengkhususkan
pemujaan kepada Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada Dewa. Di dalam
konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat pasif yang juga
disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau Bhatara-Bhatari
yang oleh pikiran manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri dan juga
dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para pemuja
sakti ini disebut Sakta.
Dalam perkembangannya
lebih lanjut dari Saktiisme ini, maka muncullah Tantriisme yaitu suatu paham
yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana.
Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang artinya ‘memaparkan
kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Di India penganut Tantriisme
lebih banyak terdapat di India-Selatan daripada di India Utara. Kitab-kitab
yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara
lain Mahanirwana Tantra, Kulanarwana Tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra,
Tantrasara dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina,
Tibet dan Indonesia. Dari Trantriisme muncullah suatu paham Bhairawa yang
artinya “hebat”. Paham Bhairawa secara khusus memulai kehebatan daripada Sakti
dengan cara-cara yang spesifik. Bhairawa inipun berkembang sampai ke Cina,
Tibet dan Indonesia.
Di Indonesia masuknya Saktiisme,
Tantriisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke-7 melalui kerajaan Sriwijaya di
Sumatera sebagaimana diberikan persaksian oleh prasasti Palembang tahun 684,
berasal dari India Selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui
ada tiga macam Bhairawa yaitu: Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang
Lawas-Sumatera Barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja
Singosari - Jawa Timur serta oleh Adhityawarman pada zaman Gajah Mada di
Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan
Bedulu Gianyar. Aliran-aliran Bhairawa ini mempunyai tendensi politik guna
mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan
menjaga keamanan negara (baca kerajaan). Maka dari itulah Bhairawa ini diikuti
oleh raja-raja dan petinggi pemerintahan serta tokoh-tokoh masyarakat saja pada
zaman dahulu. [13]
Doktrin Tantrayana
Ajaran Tantrayana
dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga disebut kitab-kitab
agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Pada dasarnya Konsepsi-Ketuhanan
(Theisme) dalam Tantrayana adalah Monoisme yaitu pemujaan terhadap satu Tuhan
yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam Mahanirwana Tantra (12)
dengan suatu kalimat berbunyi “Om Saccidekam Brahman” (Om, hanya satu kesadaran
tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini muncul dari pandangan
Advaita dalam Wedanta Darsanam. Fokus ajaran Tantrayana adalah wujud suatu
keseimbangan dalam kehidupan di dunia ini. Ditekankannya bahwa keseimbangan kesejahteraan
material dengan kesejahteraan rohani adalah sangat penting untuk terwujudny
jagadhita, karena jagadhita ini memotivasi munculnya ketenangan batin yang
merupakan suatu syarat mutlak untuk mencapai ketenangan jiwa (bhukti) yang
selanjutnya akan menuju moksa (mukti), untuk terwujudnya keseimbangan itu,
Tantrayana mengajarkan dua sistem yang ditempuh yaitu : wahya dan adhyatmika
(sekala dan niskala). Pernyataan produk kedua sistem ini akan dapat mewujudkan
jagadhita dalam kehidupan. Dalam konteks sistem ini, maka konsep Monisme itu
dikembangkan menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu dijadikan dua dan dua
itu disatukan seperti yang telah dipaparkan di depan.
Upacara
Tantrayana menekankan
betapa pentingnya upacara agama (ritual) dilakukan, karena peran upacara agama
merupakan suatu aktivitas untuk memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di
dalam kitab Mahanirwana Tantra dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna
yang perlu dilaksanakan. Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan
upakara termasuk penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru.
Tantrayana secara rinci menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada
siapa yajna itu dipersembahkan. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra
Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upacara
dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya
pengaruh dari Tantrayana, di samping juga mendasakan kepada berbagai Sastragama
Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta disemarakkan oleh produk sosial
budaya daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia.
Tapa dan Brata
Pengendalian din
melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal
dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita)
kepada Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan
pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang
muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran
(mala) yang melekat pada Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana
(malatraya).
Brata adalah suatu disiplin
batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan; apa
yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tantrayana mengajarkan
suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa atau 5 (lima) “ma” yang
terdiri dari Matsya: makan ikan
sebanyak-banyaknya. Mada: meminum
tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan
daging sebanyak-banyaknya. Mudra:
makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi
sebanyak-banyaknya dengan wanita.[14]
Sesungguhnya
Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta mengandung filosofi yang
dalam. Arthur Avalon mengkaji hal ini secara panjang lebar dan mendalam dalam
bukunya Sakti and Sakta. Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu
filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras
serasi dan seimbang. Kendatipun demikian, namun penerapan Pancatattwa ini
sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan manusia
menghadapi pengaruh sadripu sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan
sebagai Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.
Puja-Mantra
Mahanirwana Tantra yang
dijadikan dasar pegangan oleh Tantrayana sangat karya dengan Puja dan Mantra,
Mantra-mantra seperi : Mula Mantra, Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra,
dan Kawaca Mantra serta berbagai Wijaksara yang digunakan oleh Sulinggih di
Bali, menurut basil penelitian berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula
Stuti dan Stawa yang digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra
Tantrayana. Mudra dan Siwa-upakarana yang yang digunakan oleh Sulinggih di
Bali, berasal dari Mahanirwana Tantra. Selain mengambil sumber dari Mahanirwana
Tantra, bahwa Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari
berbagai Upanisad.
Mistik Hindu selain
dimunculkan oleh konsep Tantrayana, namun juga dimunculkan oleh Atharwa-Weda.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Atharwa-Weda memuat formula-formula untuk
menguasai kekuatan gaib dalam rangka mengamankan pelaksanaan upacara agama.
Dari sini dapatlah dipahami mengapa agama Hindu menggunakan Wijaksara (magic
sylable). Mudra dan Nyasa (lambang-lamhang gaib) dalam konteks upacara agama.
Di Bali, munculnya upacara yang bersifat khusus dengan menggunakan upakara yang
khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa, Caru Nwagempang,
Pangelukatan Dyus Kinurungan, Labaan Babahi, dan lain sebagainya, dapat
dipandang berasal dari kedua konsep tersebut tadi.
Tokoh
Penganut Tantra Di Indonesia
Ratu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya
naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi
kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan
masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa
mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan
makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita
tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan
lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan
musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya
memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan
meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan
dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari
Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan
pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan
beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada
ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat
kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton,
membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit
gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale
bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus
dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah
"bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera
inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya
dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya
nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring
kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan
Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang
serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf,
dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah
Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan
Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun
kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk
dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12
tahun lagi.[15]
IV.
Kesimpulan
Sebagai yang terdapat dalam agama-agama
besar lainnya, dalam agama hindi juga terdapat aliran-aliran atau Sekte-sekte
yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri dalam nenanggapi beberapa segi
ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran pokoknya.
Daftar Pustaka
Ali,
Mukti. Agama-Agama di Dunia.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin.
Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra,
I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya:
Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang
Universal. Denpasar: Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya:
Paramita, 2003
[2] H.A. Mukti Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[3] Ibid., hal., 76
[4] I Nyoman
Parbasan. Panca sradha: Sebagai
Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[5] Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press,
1986) h. 84
[6] Sri Swami
Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[8] Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press,
1086) h. 86
[10]
H.A. Mukti
Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988) h. 85
[12]
H.A. Mukti
Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 86
[13]http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1251&Itemid=29
(Oleh : Ida
Pedanda Gede Pemaron Mandhara)
[14]
Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press) h.
88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar