Responding paper
filsafat mimamsa
Makalah
ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Hindhuisme
Disusun
oleh:
Ika
Wahyu Susanti (1111032100039)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
Pendahuluan
Sembah
sujud kepada Sri Jaimini, pendiri sistem filsafat Purwa Mimamsa, murid dari
Bhagawan Sri Wyasa. Purwa Wiwamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke
dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Weda. Suatu pencarian ke dalam
ritual-ritual Weda atau bagian weda yang hanya berurusan dengan masalah mantra
dan Brahmana saja.
Sistim
Mimamsa
Mimamsa pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu Purwa
Mimamsa dan Uttara Mimamsa. Mimamsa tergolong Sad Darsana yang
benar-benar mendasarkan ajarannya pada kitab Weda. Purwa Mimamsa menguraikan
bagian pertama dari kitab Weda yaitu kitab Brahmana. Sedang Uttara Mimamsa
menguraikan bagian kedua yaitu kitab Upanisad. Uttaramimamsa, berurusan dengan
bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa
menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda. Purwa Mimamsa
atau biasa disebut dengan Karma Mimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian
lebih dahulu dari pustaka Weda. Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam
Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul;. Mimamsa biasa disebut Karma
Mimamsa karena dalam prakteknya sangat menekankan karma yaitu pelaksanaan
upacara agama untuk mencapai tujuan[1].
Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM,
denagn ajaran pokoknya diuraikan dalam kitab Mimamsa-sutra. Dalam jaman
kemudian ajaran dalam Mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti: Sabaraswamin
sekitar abad ke-4 M dan Prabhakara
sekitar tahun 650, serta yang terakhir olek Kumarila Bhata sekitar tahun
700. Maka, dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa
yaitu disatu pihak adalah pengikut Prabhakara dan kedua ialah pengikut Kumarila
Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun
tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.
Istilah
“Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memperhatikan,
menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal
kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran
pemeriksaan atau penyelidikan dari pada Weda, lantaran ia memperoleh suatu
pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana
(Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan
Kebenaran[2].
Tujuan
Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya
ialah perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar
adalah syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua
pengaruh atau akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal);
yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus.
Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”;
sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai
kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang.
Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang
dalam pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan
Brahma. Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan
pembebasan (liberation)[3].
Segala
rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan
bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa
berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi
kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi
yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma
(korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah
dalam kehidupan yang akan datang.
Mengenai cara
untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajar lima cara, sedangkan Kumarila
Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam itu
ialah[4]:
a.
Pengamatan
(pratyaksa)
b.
Penyimpulan
(anumasa)
c.
Kesaksian
(sabda)
d.
Pembandingan
(upamana)
e.
Persangkaan
(arthapatti)
f.
Ketiadaan
(anupalabdhi)
Pangkal
fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh
Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah
dasar interprestasi seluruh Weda. Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma
hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana
pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang sempurna
apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya
menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya
(argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan:
1.
Setiap
Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal
abadi.
2.
Pengetahuan
yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3.
Dalam
alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4.
Pada
hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5.
Perkataan
mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika
tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari
atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada
dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata
sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu[5]:
Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu[6]:
1.
Bumi 6. Akal
2.
Air
7. Pribadi
3.
Api
8. Ruang
4.
Hawa
9. Waktu
5.
Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu
sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan
(tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu
halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun
ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan
yang bulat.
Weda
Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui
sebagai sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan
manusia tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah
ada tanpa ada yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya serta bersifat
kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di
dunia yang tidak tampak oleh manusia.
Untuk
dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan
Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[7]:
I.
Mantra atau
Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah,merupakan koleksi dari
nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1. Rig-Veda:
Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi
sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya.
2. Sama-Veda:
Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3. Yajur-Veda:
Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu:
a. Nigada,
yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.
b. Upamasu,
yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam.
II.
Brahmana
1. Hetu
– akal budi
2. Nirvacanam
– penjelasan
3. Ninda
– gugatan; kritik
4. Prasansa
– pujian
5. Samsaya
– kesangsian
6. Vidhi
– perintah
7. Parakirya
– perbuatan suatu individu
8. Purakalpa
– perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau
para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’.
9. Vyavadharanakalpara
– interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya
10. Upamana
– perbandingan
Prinsip-prinsip
diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan
untuk kebaikan umat manusia.
Hukum Karma
Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum
Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan[8].
Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang
terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan
manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia
alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu
ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma
(korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi,
penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengaharapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk
yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas
dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak
jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada
dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa.
Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9].
Jiwa
itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan.
Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari
oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia,
maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan.
Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan alat untuk
mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui
oleh indra, jiwa pun mengetahui.
Sebagai
untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma
yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan
Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang
bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah
manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa
itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu.
Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa
dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini
berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan
kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya
kelak.
Daftar Pustaka
D. D.
HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, Sumatera
Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980
I Gede Rudia
Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, Jakarta:
Yayasan Dharma Sarathi, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar