ETIKA YOGA DAN ASTANGGA YOGA
Makalah ini dibuat untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah AgamaHindu
Dosen
Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.A
oleh
fatimahal-batul
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
Pendahuluan
Yoga merupakan salah satu jalan untuk memperoleh penyatuan
dengan Tuhan melalui latihan yang sangat keras dan teratur, sehingga apa yang
menjadi tujuan kita tercapai. Yoga bukan merupakan tradisi yang mati, yang
kemudian stagnan tanpa perubahan, melainkan selalu berubah dan dieksplorasi
oleh para pelakunya, sehingga senantiasa menghasilkan perubahan yang dianggap
lebih efektif. Ada banyak aliran dalam yoga, karena yoga bukan merupakan satu
kesatuan utuh. Melainkan pendapat dan latihan setiap alirannya berbeda dan
tidak dapat didamaikan. Jadi, ketika kita berbicara tentang yoga, artinya kita
membicarakan tentang banyak aliran dalam yoga. Satu aliran yang paling senior,
terkenal dan berpengaruh adalah aliran Patanjali yang dikenal dengan Raja Yoga.
Dan aliran ini yang akan kami bicarakan di sini, karena jika harus menguraikan
perdebatan berbagai aliran, akan sangat menyita waktu.
Patanjali, dalam Kita Yoga Sutras, memuat penjelasan tentang
delapan aspek yoga yang dikenal dengan ashtanga-yoga. Kedelapan ruas ini,
seringkali digambarkan sebagai tangga yang membimbing kehiudpan biasa menuju
realisasi Diri dan melampaui personalitas ego.
Delapan jalan menuju ‘penyatuan’ Asthanga-yoga dan Etika dalam ajaran Yoga
Tujuan Yoga ialah
untuk mengembalikan Citta[1]
itu dalam keadaannya yang semula, yang murni tanpa perubahan, sehingga dengan
demikian purusa[2]
itu dibebaskan dari kesengsaraannya.[3]
Sementara menurut Matius Ali, Tujuan Yoga Patanjali adalah mencapai kebebasan
melalui konsentrasi dan Samadhi. Istilah teknis untuk pencapaian ini adalah
‘pembebasan’ (kaivalya). [4]
Menurut Sri Aurobindo, Raja-Yoga bertujuan untuk mencapai pembebasan dan
penyempurnaan diri mental, yakni pengendalian seluruh perangkat pencerapan,
emosi, pikiran dan kesadaran. [5]
Mahārși Patañjalidalam kitab Yoga Sutrasmenyusun
‘8 ruas yoga’ (Asthanga-yoga) sebagai sebuah metode spiritualitas praktis dalam
Yoga Sutras (2.29).[6]
1.
Disiplin Moral (Yama)
2.
Disliplin Diri (Niyama)
3.
Postur Tubuh (asana)
4.
Pengendalian Napas (pranayama)
5.
Pengendalian Indera (Pratyahara)
6.
Konsentrasi (Dharana)
7.
Meditasi (Dhyana)
8.
Ekstasis (Samadhi)
Agar purusa
itu bisa dilepaskan dari ikatan prakrti[7],
orang harus dapat menindas wrtti[8]
itu, yaitu dengan meniadakan klesa-klesa. Sebab klesa itu mewujudkan satu
fungsi yang menjadi dasar pembentukan karma, yang menimbulkan awidya atau ketidak-tahuan. Di dalam
kehidupan kejiwaan manusia, terdapat suatu perputaran yang tidak putus, yaitu
perputaran wrtti,
kecenderungan-kecenderungan, klesa-klesa,
awidya dan seterusnya. Tujuan Yoga ialah untuk mematahkan perputaran yang
tidak putus ini, dengan perlahan-lahan meniadakan klesa-klesa dan memberhentikan wrtti.
Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui usaha (abhyasa) yang terus-menerus dan keadaan tanpa nafsu (wairagya). Manusia dapat melepaskan diri
dari nafsu melalui usaha dan latihan yang panjang sehingga dapat membedakan
antara pribadi dengan yang bukan pribadi, melalui asthanga-yoga.[9]
Harun Hadiwijono
menyusun asthanga-yoga dalam skema sistematis seperti berikut:
Delapan aspek asthanga-yoga ini dapat dibagi menjadi
dua bagian yang besar, yaitu: pertama,mulai dari yama sampai pratyahara
disebut pertolongan-pertolongan yang tak langsung atau yang dari luar (bahiranga); dan mulai dari dharana sampai Samadhi, yang disebut pertolongan-pertolongan yang langsung dari
dalam (antaranga).[10]
Kedelapan aspek yoga
tersebut dapat dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, sebagai unifikasi
kesadaran yang tumbuh; kedua, sebagai pemurnian diri yang progresif. Kedua
sudut pandang ini tercermin dalam Yoga-Sutras. [11]
1.
Disiplin Moral atau Pengekangan Diri (Yama)
Definisi Yama yang dijelaskan dalam Yoga Sutras
(2.30): “Yama teridiri atas tanpa kekerasan, kebenaran, tidak mencuri, selibat
dan ketidak-tamakan (ahimsa satyasteya
bramacaryaparigraha yamah). Seperti juga semua spiritualitas otentik,
fondasi yoga dibangun atas sebuah etika universal. Karenanya, ruas pertama yoga
Patanjali bukanlah postur tubuh atau meditasi, melainkan disiplin moral (yama).[12]
Kelima bagian Yama adalah:
a. Tanpa kekerasan (ahimsa)
Dari semua
kewajiban moral, ‘tidak menyakiti’ adalah yang paling utama. Kata ahimsa
seringkali diterjemahkan sebagai tidak membunuh, namun ini tidak memberikan
arti yang penuh dari kata ahimsa. Dalam Yoga Sutras (2.35), ahimsa
didefinisikan sebagai:
“Jika ahimsa sudah dilaksanakan secara
mantap, maka semua kebencian akan terhenti.”[13]
Sebenarnya
ahimsa adalah ‘tanpa kekerasan’ baik di dalam pikiran maupun dalam tindakan.[14]
Ia menjadi dasar dari disiplin yang lain. Keinginan untuk tidak menyakiti yang
lain bersumber dari dorongan kea rah unifikasi dan tansendensi sang ego. [15]
b. Kebenaran (satya)
‘Kebenaran’ (satya)
seringkali ditinggalkan dalam literatur etika dan yoga. Karena bagi orang yang
sudah menjalankan kebenaran, kejujuran, semua tindakan serta akibatnya akan
tunduk padanya. Dalam Yoga Sutras dikatakan bahwa:
“Bagi orang yang sudah menjalankan kebenaran dan kejujuran, semua tindakan
serta akibatnya ada di bawah kendali dirinya.”[16]
Satya yaitu jujur baik dalam perkataan maupun dalam pikiran.
[17]
c. Tidak Mencuri (Asteya)
‘Tidak mencuri’ (asteya) terkait erat dengan ahimsa,
karena pemilikan benda berharga secara tidak benar, melanggar hak orang yang ia
curi. Menurut Yoga Sutras, asteya dapat didefinisikan:
“Jika asteya sudah ditanamkan, maka
semua kekayaan akan datang.” [18]
d. Kesucian-Kemurnian atau
mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya)
‘Selibat’ (brahmacarya) secara harfiah berarti ‘tingkah
laku Brahmana’ merupakan hal penting yang inti dalam kebanyakan tradisi
spiritual dunia, walaaupun ditafsirkan secara berbeda. Dalam Yoga Sutras (2.38)
Brahmacarya dijelaskan sebagai berikut:
“Dengan menjalankan
brahmacarya, orang mendapatkan kekuatan.” [19]
Dalam sistem Yoga, selibat didefinisikan dalam istilah
asketisme yakni menahan diri dari aktivitas seksual, baik dalam perbuatan
maupun dalam pikiran. Secara umum, rangsangan seksual dianggap menghambat
dorongan ke arah pencerahan.
e. Ketidaktamakan (Aparigraha)
‘Ketidaktamakan’ (aparigraha) didefinisikan sebagai
‘tidak menerima hadiah’, karena hadiah tersebut menimbulkan keterikatan serta
rasa takut akan kehilangan. Jadi, para yogi dianjurkan untuk menumbuhkan
kesederhanaan dengan sengaja. Terlalu banyak kepemilikan akan mengganggu
pikiran. Penyangkalan diri (renunciation) merupakan sebuah aspek integral dari
kehidupan seorang Yogi. Yoga Sutras (2.39) memberikan definisi aparigraha
sebagai berikut:
“jika aparigraha sudah
tertanam, maka akan datang sebuah iluminasi menyeluruh tentang bagaimana dan
mengapa seseorang dilahirkan.” [20]
Jika diikuasai sepenuhnya, maka masing-masing dari
kelima keutamaan dapat membeirkan kekuatan paranormal (siddhi). Sebagai contoh,
penguasaan ahimsa akan menciptakan aura kedamaian di sekitar diri sang yogi
yang dapat menetralisir semua rasa permusuhan serta penguasaan kebencian.
Melalui kebenaran (satya) seorang praktisi yoga
mendapatkan kekuatan dengan selalu mewujudkan kata-katanya. Penguasaan
keutamaan ‘tidak mencuri’ (asteya) mendatangkan segala macam harta tanpa usaha
yang keras, sedangkan ‘ketidaktamakan’ (aparigraha merupakan kunci untuk
memahami kelahiran mereka sekarang, masa depan dan sebelumnya. [21]
2.
Disiplin
Diri (Niyama)
Ruas kedua Raja-yoga Patanjali, yakni: ‘disliplin
diri’ (niyama), bertujuan untuk
mengendalikan energi psiko-fisis yang ditimbulkan dari pengendalian diri
kehidupan batin para yogi. Jika kelima disiplin moral (yama) bertujuan mengatur latihan displin yang teratru sebagai unsur
konstitutif keselarasan dengan dengan manusia lain, maka kelima aturan
‘disiplin diri’ (niyama) bertujuan
menyelaraskan hubungan kelima disiplin diri dengan kehidupan secara menyeluruh
dan dengan Realitas Transendental.[22]
Dalam Yoga-Sutras
(2.32) Niyama dijelaskan sebagai:
“Niyama terdiri atas kemurnian diri, berpuas diri,
askese, studi teks spiritual dan penyerahan diri pada Tuhan.”
Kelima latihan
niyama adalah:
1.
Kesucian
atau kemurnian (shauca)
‘Kemurnian diri’ (sauca) merupakan kata kunci dalam
spiritualitas yoga. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa kemurnian diri
termasuk dalam daftar pertama dari kelima disiplin diri. Dalam Yoga Sutras (2.40) dijelaskan:
“Melalui pemurnian diri timbul kemuakan terhadap tubuh
sendiri dan terhadap sentuhan dari tubuh yang lain.”[23]
2.
Berpuas
Diri (Samtosha)
Berpuas diri artinya tidak menginginkan lebih dari apa
yang sudah dimiliki. Karena itu, berpuas diri merupakan keutamaan yang
bertentangan dengan mentalitas konsumerisme modern yang didorong oleh kebutuhan
untuk selalu mendapatkan lebih dari mengisi kekosongan batin. Berpuas diri
adalah ungkapan dari penyangkalan diri,
yakni pengorbanan secara sukarela akan apa yang menurut takdir akan
diambil dari kita pada saat kematian. Samtosha membuat para yogi mengalami
keberhasilan atau kegagalan, susah atau senang dengan ketenangan hati. [24] Dalam Yoga
Sutras (2.42) samtosha dijelaskan sebagai:
“Dengan
berpuas diri, kegembiraan tertinggi dicapai”[25]
Di sini, kita harus mengerti perbedaan antara ‘berpuas
diri’ (contentment) dengan ‘kepuasan diri’ (satisfaction). Berpuas diri artinya
menjadi diri kita seperti apa adanya, tanpa mencari kebahagiaan dari
benda-benda di luar. Jika sesuatu datang, kita biarkan ia datang. Jika tidak,
ya tidak masalah. Berpuas diri artinya bersikap apa adanya, yakni tidak
menyukai dan juga tidak membenci.
3.
Askese
(Tapas)
Askese merupakan unsur atau komponen ketiga dari niyama dan mencakup latihan, seperti:
berdiri atau duduk diam dalam waktu lama; menahan kelaparan, kehausan serta
panas dan dingin, berdiam diri, serta berpuasa. Kata tapas berarti ‘berkilau’,
‘panas’ dan merujuk pada energi psikosomatis yang dihasilkan dari latihan
asketisme yang seringkali dialami sebagai rasa panas. Para yogi menggunakan
energi ini utuk memanaskan kawah energi tubuh dan pikiran mereka, sampai
menghasilkan kesadaran yang lebih luhur.
Dalam Yoga Sutras (3.46) tapas dijelaskan:
“Sebagai hasil latihan samyama akan datang, pencapaian
anima serta kekuatan lain, seperti kesempurnaan tubuh, menjadi kebal terhadap
umur tertentu” (Y.S. 3.46)
Askese tidak boleh dikacaukan dengan penyiksaan diri.
Dalam Bhagavad-Gita (17.14-19),
dibedakan tiga macam asketisme, tergantung pada kecenderungan dari ketiga kualitas
alam (gunas):
“Penyembahan pada dewa-dewa, terhadap sulinggih, para
guru dan orang bijaksan, kesucian, kejujuran, brahmachari, ahimsa, hal-hal ini
disebut ujian (tapas) atas tubuh”. (Gita. 17.14)
“Ucapan kata-kata yang tidak menyakitkan hati, bebas dari
hinaan, yang mengandung kebenaran, menyenangkan dan bermanfaat dan pengucapan
Weda dengan teratur, inilah yang disebut ujian (tapas) dari ucapan” (Gita.
17.15)
“Ketenangan pikiran, kelemah-lembutan, baik hati,
pendiam, penguasaan diri, kesucian hati, ini disebut pertapaan pikiran” (Gita.
17.16)
“Ketiga macam pertapaan yang dilakukan dengan
kepercayaan yang teguh oleh mereka yang pikirannya kuat untuk tidak menghendaki
buahnya, dikatakan sattwika, baik” (Gita. 17.17)
“Pertapaan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan kehormatan, dan hanya sebagai pameran belaka, dikatakan Rajasika,
dan adalah goyah dan tidak panjang umurnya” (Gita. 17.18)
“Pertapaan yang dilakukan dengan kebodohan, keras
kepala dengan jalan penyiksaan diri dan untuk menyakiti orang lain adalah
Tamasika, bodoh” (Gita. 17.19)
4.
Studi
Teks Spiritual (Svadhyaya)
‘Studi teks spiritual’ merupakan komponen keempat dari
niyama yang merupakan latihan yoga yang penting. Kata svadhyayayang dibangun dari kata sva yang berarti ‘sendiri’ dan
adhyaya, artinya ‘masuk ke dalam’. Kata ‘studi’ merujuk pada pencarian makna
tersembunyi dari teks kitab suci. Tujuan svadhyaya bukanlah sebuah pembelajaran
intelektual, melainkan penerapan ke dalam kearifan kuno. Svadhyaya merupakan
sebuah renungan meditatif mengenai kebenaran yang dibukakan oleh para Rishi dan
arif bijaksana yang telah berjalan ke wilayah di mana pikiran tidak dapat
mengikuti serta hanya hati yang menerima. Dalam Yoga Sutras (2.44) dikatakan
bahwa:
“Dengan
mempelajari teks-teks spiritual, akan terjadi penyatuan dengan dewa-dewi yang
disembah”. [26]
5.
Penyerahan
diri pada Tuhan (Ishwara-pranidhana)
Unsur terakhir dari Niyama adalah Ishwara-pranidhana,
artinya penyerahan diri secara menyeluruh kepada Tuhan (Ishwara).[27] Dalam Yoga
Sutras dijlaskan bahwa:
“ Melalui
penyerahan diri secara menyeluruh, samadhi dicapai”
Ishwara adalah salah satu dari Diri transendental yang
satu dan banyak (purusha). Menurut definisi yang diberikan Patanjali, status
Ishwara yang luar basa diantara banyak diri disebabkan oleh fakta bahwa Ia
tidak akan pernah tunduk pada ilusi yang menghilangkan kemahatahuan serta
kemahahadiran-NYa. DIri bebas yang lain, pernah sekali waktu mengalami
kehilangan kemahatahuan dan kemaha-hadiran-Nya ketika mereka menganggap diri
mereka sebagai sebuah personalitas egois partikular atau tubuh-pikiran
terbatas. Secara inheren, semua diri adalah bebas, namun hanya Ishwara yang
sadar akan kebenaran ini.
3.
Postur
Tubuh (asana)
Secara harfiah,
kata asana berarti ‘dudukan’. Kedua komponen dari ‘delapan ruas yoga’ (ashtanga
yoga) Patanjali, yakni yama dan niyama, berfungsi mengatur kehidupan sosial
serta personal para praktisi yoga. Yama dan niyama adalah sebuah usaha untuk
mengurangi terjadinya keinginan serta tindakan tidak baik, sehingga tidak
menambah timbunan karma buruk yang baru dalam kehidupan ini.
Tujuan dari latihan
yama dan niyama adalah untuk menghilangkan semua karma, yaitu semua penyebab
subliminal yang tertanam di dalam jiwa (psyche).
Untuk mewujudkan sebuah transformasi kesadaran, seorang yogi harus menciptakan
kondisi lingkungan yang benar, baik di dalam maupun di luar diri. Yama-niyama
merupakan langkah awal untuk untuk menciptakan kondisi lingkungan yang benar,
sedangkan latihan berbagai postur tubuh (asanas) adalah sebuah usaha untuk
mengangkat tubuh ke tahap berikutnya. Secara esensial, asanas adalah sebuah
latihan untuk memurnikan dan mendiamkan tubuh fisik. Dalam Yoga Sutras (2.46),
dikatakan bahwa:
“Postur tubuh haruslah dalam
kondisi stabil dan enak”.
Dengan melipat
anggota tubuhnya, para yogi segera mencapai perubahan suasana dan ketenangan
dalam batin. Ketenangan ini membantu untuk mempermudah proses konsentrasi
pikiran.
Sekelompok asanas
membentuk semacam ‘simbol’ (mudras) yang memiliki makna simbolis. Bentuk mudras
ini memilki potensi kuat untuk mengubah kondisi sang yogi, karena mempengaruhi
sistem kerja kelenjar endokrin tubuh. Namun melalui latihan yang teratur,
praktisi yoga akan dapat menemukan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
asana tertentu. Menurut Patanjali, latihan asanas yang teratur dan benarakan
menghilangkan sensitifitas terhadap dualisme ganda, seperti: panas dan dingin,
terang dan gelap, hening dan ribut.
4.
Pengendalian
Napas (pranayama)
Kata prana berarti
‘daya hidup’ (life force),
‘vitalitas’. Kata prana seringkali diterjemahkan sebagai ‘napas’ (breath) dan ‘hidup’ (life), padahal
sebenarnya napas merupakan sebuah manifestasi luar dari prana, yakni daya hidpu
yang menembus serta menopang semua kehidupan. Pranayama merupakan komponen ke-empat dari ‘delapan ruas yoga’
Patanjali.
‘Seluruh
petualangan yoga berpuasa pada pengolahan prana’. Ini menunjukkan pentingnya pranayama dalam proses yoga.
Teknik pranayama
adalah sebuah cara sistematis yang dikembangkan oleh para yogi untuk untuk
mempengaruhi medan bioenergi tubuh. Bahkan latihan disiplin moral (yama),
pengendalian diri (niyama), pengendalian indera (pratyahara) dan konsentrasi
mental (dharana), juga merupakan bentuk manipulasi daya prana. Dalam budaya
lain, ide tentang bioenergi prana dikenal sebagai chi di Tiongkok dan mana di dalam tradisi Polinesia. Para
peneliti modern menyebutnya sebagai energi bioplasma. Para praktisi yoga
mengetahui bahwa ada hubungan antara prana, napas, emosi dan pikiran.
Dalam Yoga Sutras
(2.49) dikatakan bahwa:
“Setelah menguasai asanas, kita
harus melatih keluar masuknya napas”. [28]
5.
Pengendalian
Indera (Pratyahara)
Latihan asana dan
pranayama menghasilkan sebuah dsensitifikasi yang akan menghentikan ransangan
dari luar diri sang yogi. Kemudian secara berangsur sang yogi dapat hidup dalam
lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran sudah bisa secara berangsur
sang yogi dapat hidup dalam lingkungan batin pikirannya sendiri. Jika kesadaran
sudah bisa secara efektif membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar, maka
kondisi tersebut pratyahara. Dalam Mahabharata
(12.194.58) dikatakan tentang pratyahara:
“Sang Diri (self)
tidak dapat ditangkap dengan indera yang kacau, terpecah-belah dan terpencar
dan sulit untuk dikenalikan bagi orang
yang belum siap” (Mahabharata
12.194.58)
Dan dalam Yoga
Sutras (2.54), pengendalian indera-indera (pratyahara) dijelaskan sebagai:
“JIka indera-indera menarik diri dari objek
(benda-benda) dan meniru seolah-olah memiliki kodrat materi pikiran, maka
inilah yang disebut pratyahara”. [29]
6.
Konsentrasi
(Dharana)
‘Konsentrasi’
merupakan proses lanjutan dari pratyahara. Konsentrasi adalah komponen keenam
dari ashtanga-yoga Patanjali. Konsentrasi dapat didefinisikan sebagai
‘memfokuskan perhatian pada satu tempat tertentu’ (desha). Tempat (locus)
tersebut dapat merupakan bagian tertentu dari tubuh, serpeti cakra atau objek
eksternal yang diinternalisasikan seperti imaji seorang dewa-dewi. Istilah yang
dipakai oleh Patanjali untuk
‘konsentrasi’ adalah dharana.
Dalam Yoga Sutras
(2.53), dharana dijelaskan sebagai berikut:
“Dan pikiran sudah siap untuk
konsentrasi”.
“Dharana adalah memfokuskan pikiran pada satu tempat, objek atau
ide”. (Y.S. 3.1)
7.
Meditasi
(Dhyana)
Konsentrasi yang
diperpanjang serta mendalam, secara alami akan membimbing seseorang ke kondisi
yang disebut ‘meditasi’ (dhyana).
Dalam meditasi, objek atau locus yang diinternalisasikan mengisi seluruh ruang
kesadaran. Jika dalam ‘konsentrasi’ mekanisme utama adalah ‘keterfokusan
perhatian’, maka dalam ‘meditasi’ mekanisme yang mendasari proses ini adalah
‘kemengaliran yang tunggal’ (ekatanata). [30]
Kondisi meditasi tidak
menghilangkan kejernihan pikiran, malah sebaliknya ia memperkuat ke-sadar-an,
walaupun memang tidak ada atau terdapat sedikit sekali kesadaran akan
lingkungan eksternal. Tujuan awal meditasi dalam yoga adalah untuk menahan,
menekan, serta menghentikan modifikasi pikiran (cittas-vritti-nirodhah).
Aktivitas mental tersebut meliputi lima kategori:
1. Pramana : pengetahuan yang
diperoleh melalui persepsi, penyimpulan atau bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan, seperti teks kitab suci.
2. Viparyaya : Kesalahpahaman,
pengertian yang keliru.
3. Vikalpa : pengetahuan
konseptual, imajinasi.
4. Nidra : tidur
5. Smriti : Ingatan.
Dalam kondisi
identifikasi dengan Diri (self), unsur pengaktif yang menyebabkan
eksternalisasi kesadaran dicabut. Ingatan memiliki dua aspek, yakni aspek kasar
dan aspek halus. Aspek kasar dari ingatan dapat dilumpuhkan melalui meditasi,
sedangkan aspek halusnya dapat dinetralkan melalui samadhi suprasadar. Ada 3
tahap proses ‘penghentian’ (nirodha), yakni:
a. Vritti-nidrodha : penghentian kelima kategori
aktivitas mental kasar dalam meditasi.
b. Pratyaya-nirodha : penghentian ide (pratyaya) yang muncul
dalam berbagai jenis samadhi sadar (samprajnata-samadhi). Para yogi harus dapat
mengatasi pikiran yang mucnul secara spontan dalam kondisi savitarka-samapatti[31].
Para yogi juga harus mampu melampaui rasa bahagia (ananda) dalam kondisi ananda-samapatti
c. Samskara-nirodha : penghentian unsur pengaktif batin dalam
kondisi samadhi suprasadar (asamprajnata-samadhi).
Dalam kondisi asmprajnata-samadhi, sang yogi melumpuhkan ingatan batin dengan
potensi laten (vasana), yang selalu menghasilkan aktivita spsikomental baru.
Masalah penghancuran samskara dijelaskan dalam Yoga
Sutras (1.50)
“Kesan
(impresi) yang dihasilkan melalui samadhi akan menghapuskan semua kesan-kesan
lainnya.”[32]
8.
Ekstasis
(Samadhi)
Pada bagian
konsentrasi dan meditasi, sudah dijelaskan bahwa konsentrasi (dharana) mengarah
pada meditasi (dhyana). Kemudian kita akan mleihat bahwa meditasi (dhyana)
mengarah pada penyatuan (samadhi). Kondisi samadhi dapat tercapai jika semua
modifikasi (vritti) dalam kesadaran bangun sudah dihentikan melalui latihan
meditasi. Karena itu, konsentrasi,
meditasi dan penyatuan merupakan tiga fase dari satu proses yang
berkesinambungan (samyama). Yoga Sutras memberikan (3.3) memberikan definisi samadhi
sebagai:
“samadhi adalah kondisi meditasi yang sama, dimana
hanya ada objek saja, seolah tidak ada bentuknya”.[33]
Samadhi adalah suatu kondisi
puncak yang dicapai melalui sebuah proses disiplin mental yang panjang dan
sulit.
Etika Yoga
Secara umum, konsep etika dalam Yoga termasuk dalam latihan
yama dan niyama, yaitu disiplin moral dan disiplin diri. Aturan-aturan yang ada
dalam yama dan niyama, juga berfungsi sebagai kontrol sosial dalam mengatur
moral manusia. Akan tetapi, dalam bukunya Tattwa Darsana, I Gede Rudia
menjelaskan bahwa etika dalam yoga adalah sebagai berikut.
Dalam samadhi,
seorang Yogi memasuki ketenangan
tertinggi yang tidak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya, yang
berasal dari luar dan pikiran kehilangan fungsinya, di mana indera-indera
terserap ke dalam pikiran. Apabila semua perubahan pikiran terkendalikan, si
pengamat atau Purusa, terhenti dalam dirinya sendiri dan di dalam Yoga-Sutra Patanjali disebut sebagai Svarupa Avasthanam (kedudukan dalam diri
seseorang yang sesungguhnya).[34]
Dalam filsafat Yoga, maka yoga berarti penghentian
kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaaan pikiran
itu ditentukan oleh intensitas sattwa,
rajas dan tamas. Kelima keadaaan
pikiran itu adalah:
1.
Ksipta artinya tidak
diam-diam
Dalam keadaan
pikiran itu diombang-ambingkan oleh rajas dan tamas, dan ditarik-tarik oleh
objek indriya dan sarana-sarana untuk mencapaInya, pikiran melompat-lompat dari
satu objek ke objek yang lain tanpa terhenti pada satu objek. [35]
2.
Mudha artinya lamban dan
malas
Ini idsebabkan oleh
pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung bodoh, senang
tidur dan sebagainya.
3.
Wiksipta artinya bingung,
kacau.
Hal ini disebabkan
oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini , pikiran mempu mewujudkan semua objek
dan mengarahkannya pada kebajikan, pengetahuan, dan sebagainya. Ini merupakan
tahap pemusatan pikiran pada suatu
objek, namun sifatnya sementara, sebab akan disusul lagi oleh kekuatan pikiran.
4.
Ekarga artinya terpusat.
Di sini, Citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattva lah yang menguasai pikiran. Ini merupakan awal pemusatan
pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia mengetahui alamnya yang sejati
sebagai persiapan untuk menghentikan perubahan-perubahan pikiran.
5.
Niruddha artinya terkendali
Dalam tahap ini,
berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha
merupakan persiapan dan bantuan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kelepasan.
Ekagra bila dapat berlangsung terus menerus, maka disebut samprajna-yoga atau meditasi yang dalam, yang padanya ada
perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Tingkatan Niruddha
juga disebut asaniprajnata-yoga,
karena semua perubahan dan kegoncangan pikiran terhenti, tiada satu pun
diketahui oleh pikiran lagi. Dalam keadaan demikian, tidak ada riak-riak
gelombang kecil sekali pun dalam permukaan alam pikiran atau citta itu. Inilah
yang dinamakan orang samadhi yoga. [36]
Ada empat macam samparjnana-yoga menurut jenis objek
renungannya. Keempat jenis itu adalah:
1. Sawitarka ialah apabila
pikiran dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
2. Sawicara ialah bila pikiran
dipusatkan pada objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmantra.
3. Sananda, ialah bila
pikiran dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indriya.
4. Sasmita, ialah bila
pikiran dipusatkan pada asmita, yaitu anasir rasa aku yang biasanya roh
menyamakan dirinya dengan ini. [37]
Tuhan dalam Ajaran Yoga
Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan menurutnya
adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi segalanya, Maha
Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Tuhan adalah purusa yang khusus yang tidak
dipengaruhi oleh kebodohan, egoisme, nafsu, kebencian dan takut akan kematian.
Ia bebas dari Karma, Karmaphala dan impresi-impresi yang bersifat laten.
Patanjali beranggapan bahwa individu-individu memiliki esensi yang sama
dengan Tuhan, akan tetapi oleh karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan
oleh keterikatan dan karma, maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan
dan menjadi korban dari dunia material ini.
Tujuan dan aspirasi manusia bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi
pemisahan yang tegas antara Purusan dan Prakrti (SR, hal371). Hanya satu Tuhan.
Menurut Vijnanabhisu:
“dari semua jenis kesadaran meditasi, bermeditasi kepada kepribadian Tuhan
adalah meditasi yang tertinggi. (SR, 372) Ada bebagai obyek yang dijadikan
sebagai pemusatan meditasi yaitu bermeditasi pada sesuatu yang ada di luar diri
kita, bermeditasi kepada suatu tempat yang ada pada tubuh kita sendiri dan yang
tertinggi adalah bermeditasi yang di pusatkan kepada Tuhan.
Kebodohan menyatakan bahwa ada dualisme dari satu realitas yang disebut
Tuhan. Ketika kebodohan dihilangkan oleh pengetahuan maka dualisme hilang dan
kesatuan penuh akan dicapai. Ketika seseorang mengatasi kebodohan maka dualisme
hilang maka ia menyatu dengan The Perfect Single Being tetapi kesempurnaan The
Single Being itu selalu ada dan tetap tersisa sebagai sesuatu yang sempurna dan
satu. Tak ada perubahan dalam lautan, seberapa banyakpun sungai-sungai yang
mengalirkan airnya dan bermuara padanya. Ketidak berubahan adalah keadaan dasar
dari kesempurnaan.
Kesimpulan
Filasafat yoga
merupakan salah satu aliran filsafat dalam agama Hindu yang membahas tentang
latihan, baik fisik maupun mental, yang keras dan serius, agar dapat memperoleh
apa yang disebut dengan Transendensi Diri. Dalam yoga, dipercaya ada 8
tingkatan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu: Disiplin moral (yama), disiplin
diri (niyama), Postur Tubuh (asana), Pengendalian Napas (pranayama), Pengendalian Indera (Pratyahara), Konsentrasi (Dharana), Meditasi (Dhyana), Ekstasis (Samadhi)
Sistem etika
yang terdapat dalam agama Hindu, diatur
dalam 2 tingkatan pertama, yaitu Disiplin moral dan Disiplin diri. Yang dibagi
menjadi sepuluh aturan: lima aturan pertama merupakan aturan yama, dan lima
yang lain merupakan aturan niyama. Disiplin
Moral atau Pengekangan Diri (Yama) terdiri atas: Tanpa kekerasan (ahimsa), Kebenaran (satya), Tidak Mencuri (Asteya), Kesucian-Kemurnian atau
mengendalikan nafsu jasmani dan nafsu asmara (brahmacarya), Ketidaktamakan (Aparigraha). Sementara Disiplin Diri
(Niyama) terdiri dari: Kesucian atau kemurnian (shauca), Berpuas Diri
(Samtosha), Askese (Tapas), Studi Teks Spiritual (Svadhyaya), Penyerahan diri
pada Tuhan (Ishwara-pranidhana).
Konsep Tuhan dalam
agama Hindu, Patanjali menerima eksistensi Tuhan (Isvara) dimana Tuhan
menurutnya adalah The Perfect Supreme Being, bersifat abadi, meliputi
segalanya, Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha ada. Patanjali beranggapan bahwa
individu-individu memiliki esensi yang sama dengan Tuhan, akan tetapi oleh
karena ia dibatasi oleh sesuatu yang dihasilkan oleh keterikatan dan karma,
maka ia berpisah dengan kesadarannya tentang Tuhan dan menjadi korban dari
dunia material ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
Adiputra, I
Gede, Rudia, dkk. Tattwa Darsana.
Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990.
·
Ali, Matius. Filsafat India:
Sebuah Pengantar Hinduisme & Buddhisme. Tangerang : Sanggar
Luxor, 2010.
·
Hadiwijono,
Harun. Sari Filsafat
India. Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1971.
·
Maswinara, I
Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha), Surabaya : Paramita, 2006.
[1] Citta adalah konsespsi yang paling penting dalam
sistem yoga. Dianggap sebagai hasil pertama dari perkembangan Prakrti (Alam
dunia), yang meliputi Ahamkara dan Manas. Sehingga yang dimaksud dengan ialah
gabungan buddhi, ahamkara, dan manas. Di dalam citta ini, purusa (Jenis
kebenaran tertinggi/ roh), lihat Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal.
51: Adiputra, I Gede Rudia. Tattwa Darsana, hal.59
[3] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal, 51
[4] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 59
[5] Ali, Matius. Ibid.
lihat juga: Aurobindo, Sri. The Synthesis of Yoga, hal 30-31
[6] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 63, lihat juga Grimes, J. A Concise Dictionary of
Indian Philosophy, hal. 64; Yogendra, J & Vaz, J. Clement (eds.), Yoga
Today, tanpa hal., sesudah daftar isi.
[9] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 51
[10] Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, hal. 52
[11] Ali, Matius. Filsafat India: Sebuah Pengantar
Hinduisme dan Buddhisme, hal. 64
[12] Ali, Matius. Ibid,
hal. 65
[13] Ali, Matius. Ibid,
hal.65; Satchidananda, S.Swami. The Yoga Sutras of Patanjali, hal. 130
[14] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu, hal. 165
[15] Ali, Matius. Ibid,
hal. 65; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 325
[17]Adiputra, I
GedeRudiadkk.TattwaDarsana. Hal. 62
[18]Ali, Matius. Ibid, hal. 66
[19]Ali, Matius. Ibid, hal. 66
[20]Ali, Matius. Ibid, hal. 67
[21]Ali, Matius. Ibid, hal 67
[22]Ali, Mukti. Filsafat India:
SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 68
[23]Ali, Mukti. Ibid, hal. 69
[24]Ali, Mukti. Ibid, hal. 70; Feuerstein, G. The Yoga Tradition, hal. 327
[25]Satchidananda, S. Swami. The Yoga
Sutras of Patanjali, hal. 146
[26]Ali, Mukti. Filsafat India:
SebuahPengantarHinduismedanBuddhisme, hal. 72
[27]Ali, MUkti. Ibid, hal. 72
[28]
Ali, Mukti. Filsafat India:
Sebuah Pengantar HInduisme dan Buddhisme, hal.79
[29]
Ali, Mukti. Ibid, hal.79
[30]
Ali, Mukti. Ibid, hal.82
[31]
Samapatti adalah pencapaian,
kondisi manunggal dengan objek, saran dan subjek kesadaran dalam meditasi;
savitarka berarti suatu jenis penyatuan (Samadhi) dimana pikiran terkonsentrasi
pada objek dan menginganama serta kualitasnya.
[32]
Ali, Mukti. Ibid, hal. 83-84
[33]
Ali, Mukti. Ibid, hal. 84
[34]Maswinara, I Wayan.SistemFIlsafat
Hindu, hal. 167
[35]Adiputra, I GedeRudia,
TattwaDarsana, hal 60.
[36]Adiputra, I GedeRudia.Ibid, hal. 60-61
[37]Adiputra, I GedeRudia.TattwaDarsana,
hal. 61; lihatjugaMaswinara, I Wayan.SistemFilsafat Hindu, hal. 167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar