RESPONDING
PAPER
PERIODESASI
WEDA (Zaman Weda)
Diajukan
guna memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Hinduisme Semester 3
Dosen
pengajar: Hj. Siti Nadroh, MA
Oleh:
1111032100055 (Ati
Puspita)
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
2012
v PENDAHULUAN
Agama Hindu merupakan agama
jutaan penduduk India. Agama yang sama sekali tidak memiliki bentuk dan
merupakan suatu unsur himpunan yang tidak sama dan tidak tetap. Hindu diibaratkan
sebuah bola salju yang menggelinding dan semakin membesar, karena menghisap semua yang dilaluinya, tanpa ada
yang tertinggal dan tanpa ada yang dibuang. Terhadap Hinduisme, tidak dapat
diterapkan rumusan seperti biasa untuk merumuskan agama, karena: [1]
Tidak mempunyai pendiri, sehingga tidak dapat disimpulkan
dari khutbah atau ajaran yang menyatakan siapa dia berasal.
Para pemeluknya
tidak diharuskan untuk mempercayai suatu keyakinan tertentu mengenai Tuhan,
manusia, dan alam.
Tidak ada
sesuatupun pangakuan iman yang disepakati oleh para pengikutnya.
Tidak ada suatu
organisasi keagamaan yang menghimpun semua penganutnya.
Sekarang pengetahuan
tentang sejarah bangsa Arya itu lebih lengkap dan lebih jelas daripada sejarah
bangsa-bangsa asli India di zaman purbakala. Bangsa dravida lama-kelamaan
dipengaruhi oleh bangsa Arya, sehingga terjadilah pertempuran kebudayaan dan agama baru. [2]
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa Hindu timbul dari dua arus utama yang membentuknya,
yaitu agama (bangsa) Dravida dan agama (bangsa) Arya, dalam perkembangannya di
India lalu ada usaha-usaha untuk memasukan berbagai macam kepercayaan yang ada,
filsafatnya, dan praktek-praktek keagamaannya dalam suatu sistem yang sekarang
ini disebut dengan Agama Hindu. Agama bangsa Arya kita kenal dari kitab-kitabnya
yang mengenai agamanya, yakni kitab-kitab Weda (Weda yang berarti tahu). Oleh karena itu masa yang tertua
dari agama Hindu disebut Masa Weda.
ZAMAN WEDA
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun Sebelum Masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punyab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo-Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan terampil. [3]
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun Sebelum Masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punyab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo-Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan terampil. [3]
Zaman
Weda merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda yang pertama yaitu RigWeda.
Kehidupan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum
pada Weda Samhita, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan
ayat-ayat Weda, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda
adalah kitab suci Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda.
Semua ajarannya bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu
agama Hindu mengakui kewenangan ajaran kitab suci Weda. Weda adalah wahyu atau
sabda suci Tuhan Yang Maha Esa / Hyang Widhi
Wasa, yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi-ananta yakni tidak
berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa.
Namun di kalangan
sarjana, baik Hindu maupun barat telah berusaha untuk menentukan kapan
sebenarnya Weda itu diwahyukan. [4]
Kehidupan
keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita, yang
mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. [5]
Hanya para Resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut. Isi Weda
pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk
puji-pujian.
Kitab
suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
RigWeda.
RigWeda
berasal dari kata “Rig” yang berarti
memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan
masing-masing Kidung (sukta) terbagi
lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir RigWeda membicarakan perawatan orang
mati, pembakarannya dan pengamburannya menurut umat Hindu, RigWeda ini sangat
penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama mamoteistis dengan falsafah yang
monistik [Itulah yang maha Esa. Orang-orang suci memberinya agama yang
bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan Matariwan (RigWeda
I, 164:44)].
SamaWeda.
SamaWeda
merupakan suatu bunga-rampai RigWeda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda
irama musik. SamaWeda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti
irama musik oleh para pendeta yang disebut Udgatr, dan biasanya
dilakukan pada upacara korban diselenggarakan.
YajurWeda.
Weda
ini tidak hanya mnemuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan tetapi
mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. YajurWeda memiliki
hubungan yang sangat erat dengan RigWeda dan SamaWeda, dan ketiga-tiganya
sering disebut dengan Triwedi. [6]
AtharwaWeda.
Para atharwan
adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai kidung-kidung yang
harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma.
Isi AtharwaWeda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya
sendiri dianggap sudah memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda
tidak terdapat uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran
Hindu yang khas. Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang
berhubungan dengan ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak
ada uraian tentang pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun
pertarakan, juga tidak ada ajaran avatar
atau penjelmaan. [7]
Weda sebagai sumber
ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti.
Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi Weda diuraikan pada Sruti dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas empat bagian: [8]
Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. Materi Weda diuraikan pada Sruti dan smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas empat bagian: [8]
(1)
Mantra
(2)
Brahmana
(3)
Aranyaka
(4)
Upanisad
A. DEWA - DEWA
Dewa-dewa
yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia
dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Dewa-dewa salalu dihadirkan
dalam menyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai Dewa-dewa dalam
Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas: Dewa-Lewa langit, Dewa-dewa
Angkasa, Dewa-dewa Bumi. [9]
Dewa-dewa
langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata
dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna
memberikan hadiah kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat.
Selain Waruna juga Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya
diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya
digambarkan sebagai menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya
yang ke tiga dipandang tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa. [10]
Dewa-dewa
angkasa antara lain Dewa Indra dan Dewa Angin. Dewa Indra sering disebut dengan
Dewa perang dan mendapat kehormatan yang besar sekali, sebab sering membantu
manusia dalam perang. Dewa Indra digambarkan bersenjata panah / wajra. Dewa Angin
dipandang sebagai Dewa yang penting juga.
Yang
termasuk Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah
Dewa bumi yang sering disembah sebagai Dewa
Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa Api, yang sering dianggap sebagai
perantara antara manusia dan Dewa Agnilah yang meneruskan puji-pujian dan
korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud. Agni pula yang mendatangkan para
Dewa ke tempat-tempat saji dengan bunyi-bunyian dalam Api. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api, yaitu api untuk upacara harian (agnihotra),
seperti yang sampai saat ini masih terdapat di kalangan keluarga pandit yang
ortodoks; api yang untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan
baru atau bulan purnama; dan api untuk upacara penghormatan dengan pemujaan
arwah leluhur. [11]
Kemudian
Dewa Soma, Dewa minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan
yang disebut soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban,
soma dituangkan sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah
bahwa rasa hormat yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus
itu sendiri tetapi hanya kepada kekuatan
soma itu saja. Ada beberapa Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan
kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (Dewa Matahari), Wisnu, Si Kembar
Aswin atau Nasatya (Dewa Alam Pagi Hari) yang kemudian menjadi Dewa Kesehatan,
Usas (dianggap sebagai Dewa Fajar), Marut (Dewa Taufan dan Angin Ribut), Rudra
(Dewa Taufan dan Petir), Parjanya (Dewa Pengetahuan).
Dewa-dewa
penting sebagai personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Barhamananaspati atau
Brahaspati (Dewa personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar
(Dewa Guntur). [12]
Walaupun dalam
agama ini didapati banyak sekali Dewa, namun mereka tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata Dewa
tertinggi yang memiliki segala kekuasaan para Dewa yang lain. Dengan demikian
hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang memiliki segala kekuatan para Dewa,
yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau
dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme.
Max
Muller juga menghindari pemakaian istilah monoteisme atau politeisme dalam
ketuhanan agama Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada
Tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat
disebut sebagai kepercayaan sebagai heneoteistik, barang kali agama ini dapat
pula disebut sebagai katenoteisme (khathenotheisme)
karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan dan mengagungkan
hanya satu Dewa Yang Maha Tinggi yang diperlukan sebagai obyek tunggal. Akan
tetapi Dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
B. ROH – ROH (JAHAT)
Menurut
kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat
ada dua macam yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaannya adalah Raksa dan Pisaca
(pemakan bangkai). Raksa sering menampakan diri sebagai manusia dan binatang.
Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa, Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah
leluhur sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila
orang meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih
mengembara dalam keadaan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan
sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya petra segera sampai ke alam bahagia yaitu alam pitara.
Raja para pitara adalah Dewa Yama.
C. KORBAN
Umat Weda memuliakan
para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yamg selain
dilakukan dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari gangguan roh
jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan
serta ketentraman. Tujuan utama melakukan upacara korban dalam agama Weda ini
ialah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan korban dipimpin oleh pendeta
yang membujuk dan merayu para Dewa untuk mengabulkan permohonan manusia.
Selain itu masih ada
korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan
dengan upacra yang disebut Aswameda.
Korban-korban ini disertai dengan pengucapan doa-doa yang tersebut dalam RigWeda,
irama musik yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan
diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Untuk
keperluan sehari-hari korban oleh kepala keluarga dari segi penyelenggaraan.
Korban yang dilakukan
hanya seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Oleh karen itu, biasanya
korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang sangat
diutamakan biasanya disebut Hotri yang tugasnya adalah menyetir bait - bait
yang terdapat dalam RigWeda.
Pendeta Adwaryu
juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan persiapan-persiapan
yang cermat. Ia menunggu api supaya tidak padam dan menyiapkan beberapa macam
makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi penyelenggaraan korban
tersebut. Selama upacara koban berlangsung, kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati.
Upacara korban sehubungan dengan peristiwa suci disebut Samsakara, dan
biasanya dilakukan oleh ketiga kasta atas. Yang terpenting adalah
upacara-upacara korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang diselenggarakan
bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain. Korban diselenggrakan di
rumah-rumah atau di altar. Benda yang dipersembahkan biasanya adalah
benda-benda yang disukai oleh manusia seperti susu; ghee dan kue-kue yang
terbuat dari gandum atau beras. Kalu korban terseburt berupa bintatang, maka
daging korban tersebut tidak mereka makan. Menurut Robert D. Baird dan Alfred
Bloom, korban binatang ini merupakan bukti korban manusia yang pasti diterima oleh
para Dewa. [13]
D. PRAKTEK
KEAGAMAAN
Dua macam upacara
simbolik yang penting ialah, pertama korban manusia (purusa) sebagaimana
tercantum dalam kidung kosmogonik dalam RigWeda, yang menyebutkan bahwa yang
maha tinggi telah menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui ke Maha Kuasaan
Tuhan secara universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya
kepada seluruh manusia.
Dikalangan rakyat umum
terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa
tempat, upacara tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan
sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara
dilakukan sendiri oleh pemilik rumah selaku penanggung jawab anggota
keluarganya. Upacara ini juga mementingkan api. [14]
Yang menjadi pusat
pemujaan orang-orang ini adalah korban. Korban-korban itu dipersembahkan dengan
maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan
roh-roh yang jahat, dan memuja para leluhur. Pada hakikatnya korban yang
dipersembahkan kepada Dewa-dewa itu bersifat permohonan, yaitu memohon
keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal -
hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Ada dua macam korban,
yaitu korban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore, tiap
bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada korban berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan,
umpamanya korban soma, aswameda, atau koban kuda, rajasuya,
dan sebagainya.
Kecuali korban - korban
masih ada upacara - upacara lainnya yang harus dilakukan orang, yaitu pada
waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu waktu
diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama,
atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikianlah seluruh
kehidupan orang pada zaman itu meliputi oleh upacara-upacara keagamaan.[15]
v KESIMPULAN
Orang - orang periode ini unggul di bidang pertanian dan
ternak peliharaan dan hewan ternak lainnya. Dengan peningkatan bertahap dalam
populasi, orang-orang menetap sebagai petani. Ras Arya yang disebut orang
sebagai Jana (orang) sedangkan Janapada berarti tanah. Setiap suku Arya
memiliki kepala suku dan sekelompok orang bijak membantu dia dalam karyanya.
Tidak ada dominasi dari setiap individu dan kelompok bekerja bersama-sama. Para
kepala suku, prajurit dan imam adalah orang-orang penting, dan memimpin
masyarakat umum dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Hewan kurban adalah sebuah
upacara pengorbanan umum.
Pada Zaman Brahmana,
kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah
yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman
Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara"
beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang
saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan
wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Zaman
Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja,
akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang
dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Zaman Upanisad ini adalah zaman
pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas
dasar Weda.
Berbeda dengan Zaman Weda yang pola
keagamaannya berkisar kepada pemujaan dewa maupun tenaga alam guna mendapatkan
keberuntungan pada Zaman Upanisad ini keagamaan dibalikkan dari soal lahir
menjadi soal batin. Bukan upacara maupun sesajen yang dipentingkan melainkan
pengetahuan batin yang lebih tinggi yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib
itulah yang menjadi pokok pandangan hidup. Pedoman hidup yang disebut triwarga,
terdiri atas Dharma (kewajiban-kewajiban agama dan masyarakat), Artha
(usaha-usaha untuk mengumpulkan harta) dan Kama (usaha-usaha untuk mendapatkan
kesenangan dan kenikmatan), tidak lagi dianggap mencukupi dan tidak lagi
dicita-citakan. Timbullah cita-cita yang lebih luhur lagi yaitu moksa.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama
- Agama Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga press, 1988
Direktor Jendral
Bimbingan Masyarakat Hindu. Dasar - Dasar Agama Hindu. Jakarta:
Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010
Djam’annuri, Agama
Kita: Perspektif Sejarah Agama - Agama. - : Yogyakarta, 2002
Hadiwijono,
Harun. Sari Filsafat India. Jakarta: Gunung Mulia, 1989
Hadiwijono,
Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Hanafih. Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan
pemikiran Manusia. Yogyakarta: Bulan Bintang, 1973
Honig, Ilmu
Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009
Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1. 1959
Thalhas, Pengantar
Studi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase, 2006
[1]. - . Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama. Editor:Djam’annuri. (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, Cet.
II. ). h. 31-32
[2]. Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 19
[3]. Direktor
Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu. Dasar-Dasar
Agama Hindu (Jakarta: kementrian Agama Republik Indonesia, 2010). h. 6
[4]. Direktor Jendral
Bimbingan Masyarakat Hindu. Dasar-Dasar
Agama Hindu. (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia. 2010). h. 6
[5]. Mukti Ali, Agama-Agama Dunia. (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988). h. 60
[6]. Mukti Ali, Agama-Agama Dunia. (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988). h. 61
[7]. Hanafih, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan
pemikiran Manusia. (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1973). h. 60
[8]. Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandimgan Agama.
(Jakarta: Galura Pase, 2006). h. 57
[9]. Mukti Ali, Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988). h. 63
[10] Harun,
Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia, 2010)
[11] Harun,
hadiwijono, Sari Filsafat India ( Jakarta: Gnung Mulia, 1989 ),h. 14
[12] Honig, Ilmu
Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 82
[13] Honig, Ilmu
Agama ( Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ),h. 83
[14]. Harun Hadiwijono,
Agama Hindu dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008). h. 20
[15]. Djam’annuri,
agama kita: Perspektif Sejarah
Agama-agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002). h. 45, Cet. II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar