A.
FILSAFAT WAISISEKA
Makalah
(Revisi)
Disusun
untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Hinduisme
Oleh:
PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
ENDAHULUAN
Tattwa –
Ajaran Hindu kaya akan Tattwa atau dalam ilmu modern disebut filsafat , secara
khusus filsafat disebut Darsana. Dalam perkembangan agama Hindu atau kebudayaan
veda terdapat Sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa Darsana. Pada masa Upanishad
, akhirnya filsafat dalam kebudayaan veda dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
astika (kelompok yang mengakui veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika (
kelompok yang tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat
enam cabang filsafat yang mengakui veda yang disebut Sad
Darsana (Samkhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya, Vaisiseka, dan Vedanta ) dan tiga cabang filsafat yang menentang veda yaitu Jaina,
Carvaka dan Budha (agama Budha). [1]
Dalam sejarahnya, falsafah Nyaya menempati urutan pertama dalam
keseluruhan sistem falsafah ortodoks India karena ia seolah-olah berperan
sebagai pendahuluan atau pintu pertama memasuki keseluruhan sistem falsafah
India (Sarva Darsana Samgraha). Sistem ini lazim digandengkan dengan Vaisesika,
yang muncul kemudian. Kedua sistem ini memiliki titik tolak dan ciri yang
hampir sama. Sebagai sistem falsafah keduanya didasarkan pada penalaran secara
analitik. Sebagai sistem falsafah yang didasarkan pada kitab Veda, Nyaya terus
berkembang hingga abad ke-20. Tidak mengherankan apabila bergitu banyak wacana
tertulis dilahirkan dari para filosof Nyaya.
Vaisesika yang digandengkan dengannya dianggap sebagai pelengkap dan tambahan bagi falsafah Nyaya. Penjelasan-penjelasan dalam Vaisesika Darsana seolah-olah berperan sebagai rincian yang lebih luas terhadap asas-asas falsafah yang dikembangkan oleh Nyaya Darsana. Tetapi keduanya memiliki corak serupa. Nyaya dan Vaisesika merupakan sistem falsafah merupakan penyajian secara kritis terhadap obyek-obyek pengetahuan dengan mengunakan pembuktian logis.[2]
Vaisesika yang digandengkan dengannya dianggap sebagai pelengkap dan tambahan bagi falsafah Nyaya. Penjelasan-penjelasan dalam Vaisesika Darsana seolah-olah berperan sebagai rincian yang lebih luas terhadap asas-asas falsafah yang dikembangkan oleh Nyaya Darsana. Tetapi keduanya memiliki corak serupa. Nyaya dan Vaisesika merupakan sistem falsafah merupakan penyajian secara kritis terhadap obyek-obyek pengetahuan dengan mengunakan pembuktian logis.[2]
Vaishesika dan Nyaya
Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat dan hakekat
sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula bahwa
Vaishesika merupakan tambahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki
analisa pengalaman sebagai obyektif utamanya.
Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya (samkhya, yoga,
purva-mimamsa, dan vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam
arti bahwa mereka menjelaskan alam semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh,
maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili tipe filsafat analitis serta
menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah
penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis.
Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil pengertian
dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa
dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya
menjadi sebuah teori tentang alam semesta. Bagian yang logis dan fisik menjadi
ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem Nyaya
menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta berargumen melawan
skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Sedangkan sistem Vaishesika
memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman.
B.
ISI
Vaishesika yang merupakan salah satu aliran filsafat
India yang tergolong ke dalam Sad Darsana agaknya lebih tua dibandingkan
dengan filsafat Nyaya. Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, dengan
tokohnya ialah Kanada (Ulaka).[3] Sistem ini juga dikenal sebagai Aulukya darsana
dan juga dengan nama Kasyapa dan dianggap seorang Deva-rsi.(I
Wayan Maswinara, 2006 : 142)
Buku karyanya adalah Waisesika-Sutra yang merupakan sumber
dari ajaran Waisesika dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika.
Tujuan pokok Vaishesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menerangkan tentang Dharma, yaitu apa yang memberikan
kelepasan yang menentukan.[4]
Sistem filsafat vaisesika
mengambil nama dari kata Visesa yang artinya kekhususan,
yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok
permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah
kekhususan Padartha atau
kategori yang nanti akan disebutkan secara lebih terperinci.(I Wayan Maswinara,
2006 : 141)
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padartha
, tetapi rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan
tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti
dari Padartha. Sutra pertama berbunyi : ”YATO BHYUDAYANIHSREYASA
SIDDHIH SA DHARMAH” – artinya, Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan
kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).
Padartha , secara
harfiah artinya adalah : arti dari sebuah kata ; tetapi di sini padartha
adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan
suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada).
Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu semua objek pengalaman
adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung dan sifatnya
sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas.
Padartha dan Vaisesika
darsana, seperti yang disebutkan oleh rsi Kanada sebenarnya hanya 6
buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya,
sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (padartha),[5]
yaitu :
1.
Substansi
(drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari
pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi.
Substansi (drawya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang
dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh : tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari
tanah.
Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya,
sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula
halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti :beraneka
ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada walaupun
tidak adanya bermacam-macam minuman.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : (1)
Tanah (prthivi); (2) Air (apah, jala); (3) Api (tejas); (4) Udara (vayu);
(5) Ether (akasha); (6) Waktu (kala); (7) ruang (dik); (8)
diri (atman); (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas
riel, tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas.
Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan
hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik
maupun yang bersifat rohaniah.
Adapun yang termasuk substansi badani (physik) adalah : bumi, air,
api, udara, ruang, waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah
terdiri dari akal (manas/pikiran), diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah
ini bersifat kekal dan pada setiap mahluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa
dan satu manas. Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat individu dan
menjadi sumber kesadaran setiap mahluk yang senantiasa berhubungan dengan
kegiatan badani (physik). Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang
dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat
physik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di
lain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali.
Oleh karena setiap mahluk (manusia) di jiwai oleh pribadi
(jiwa/atma). Maka pandangan Waisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis,
yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.
2.
Kualitas
(guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya
nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara
mutlak dari substansi yang diberi sifat.[6]
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya
ada 24, yaitu : (1) warna (rupa) ; (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4)
sentuhan/raba (sparsa); (5) jumlah (samkhya); (6) ukuran (parimana); (7)
keaneragaman (prthaktva); (8) persekutuan (samyoga); (9) keterpisahan
(vibhaga); (10) keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot
(gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15)
suara (sabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana); (17) kesenangan
(sukha); (18) penderitaan (dukha); (19) kehendak (iccha); (20)
kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat
(dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri
(samskara). Sejumlah 8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha,
dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh,
sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.[7]
3.
Aktifitas
(karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan
dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.[8]
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang
bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan
substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak
karena telah memenuhi segala yang ada.
Gerakan-gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari
dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan
itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran.
Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin,
peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber penggerak yang
adikodrati. Sumber yang adikodrati itulah Tuhan.
Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha
mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk
mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
Ada 5 macam gerak, yaitu : (1) Utksepana (gerakan ke atas);
(2) Avaksepana (gerakan ke
bawah); (3) A-kuncana (gerakan membengkok); (4) Prasarana
(gerakan mengembang); (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).[9]
4.
Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2
permasalahan, yaitu : (i) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah (ii)
jenis kelamin dan spesies.[10]
Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan
konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam
semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular
yang berbeda. Karena nya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat
dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya
sendiri, namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama,
namun ‘sapi’ dan ‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari
universalia-universalia ini, ‘Ada’ (Being, Satta) adalah yang tertinggi,
karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.[11]
5. Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat
yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaishesika
diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang mendapat
penekanan khusus dari para filsuf Vaishesika.
Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan substansi (dravyas).
Dalam sistem Vaishesika, unsur tanah, air, api, udara, dan pikiran
dibangun dari atom (paramanu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa
dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas.[12]
6. Hubungan Niscaya (samavaya).
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat
hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini
dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau permanen (samavaya).
Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan
yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tamgan. Di sisi
lain, samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir
ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. Ada lima jenis hubungan yang tetap dan
entitas yang tetap atau tidak terpisahkan ini (ayuta-siddha):
(i)
Hubungan keseluruhan dengan
bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-benangnya.
(ii)
Hubungan kualitas dengan objek yang
memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
(iii)
Hubungan antara tindakan dan pelakunya,
seperti tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
(iv)
Hubungan antara partikular dengan yang
universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi atau bangsa jepang dan
seorang jepang.
(v)
Hubungan antara substansi kekal dan
substansi khusus. Menurut sistem Vaishesika, partikel subatomis (paramanu)
setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak membiarkan atom
dari satu substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus (Visesha)
dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak
terpisahkan’ (samavaya).[13]
7. Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang
telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan
universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua
benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan
entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhava. Sebenarnya
kategori ini bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun
hanya modus pengaturan negatif.
Abhava, yang
merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu :
(i)
Pragabhava, yaitu ketidak adaan dari
suatu benda sebelumnya ; contohnya : ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh
pengrajin periuk.
(ii)
Dhvansabhava,
yaitu penghentian keberadaan, misalnya periuk yang dipecahkan; dimana dalam pecahan periuk
itu tak ada periuk.
(iii)
Atyantabhava,
atau ketidak adaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari
dulu tidak pernah berwarna atau pun berbentuk.
Ketiga
ketidak adaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidak adaan suatu
benda dalam benda yang lain.
(iv)
Anyonyabhava, atau ketidak adaan mutlak
, dimana antara benda yang satu sama sekali tidak ada persamaannya dengan yang
lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan sepotong pakaian, demikian
pula sebaliknya.[14]
C.
PENUTUP
Sistem filsafat Vaishesika menggunakan tujuh kategori (padarthas)untuk
menganalisis secara menyeluruh, baik komponen yang ditemukan dalam alam dan
hubungan yang terletak diantara mereka, agar dapat memanfaatkannya untuk tujuan
material. Berbeda dari sistem filsafat lainnya, filsafat Nyaya tidak
secara langsung melibatkan diri dengan tujuan pembebasan (moksha). Alasannya adalah karena jiwa yang terikat,
seperti yang dijelaskan oleh Patanjali dalam Yoga Sutra (II, 18).
Namun, fokus sistem Nyaya-Vaishesika terletak pada tujuan awal dari
jiwa-jiwa yang terikat, pengertian serta penguasaan pada penciptaan fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Dr. Matius. Filsafat India : Sebuah Pengantar Hinduisme
& Buddhisme, Tangerang : Sanggar Luxor, 2010.
Hadiwijono, Dr. Harun. Sari Filsafat India, Jakarta Pusat :
BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985.
Hiriyanna, M. Outlines of Indian Philosophy, London :
George Allen & Unwin Ltd., 1964.
http://filsafat.kompasiana.com/2012/09/06/inti-ajaran-hindu-491184.html
Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana
Samgraha), Surabaya : Paramita, 2006.
Yayasan Dharma Sarathi. Tattwa Darsana, Jakarta, 1990.
[1] filsafat.kompasiana.com/2012/09/06/inti-ajaran-hindu-491184.html
[2] http://ferrydjajaprana.multiply.com/reviews/item/17
[3] Yayasan Dharma Sarathi. TATTWA DARSANA ,
hal. 30.
[4] Hadiwijono, H. Sari Filsafat India , hal. 58.
[5]
Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), hal. 143.
[6] Yayasan
Dharma Sarathi Jakarta.Tattwa Darsana, hal. 32.
[7]
Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha),
hal.143-144.
[8] Ali,
Matius. Filsafat India : sebuah pengantar Hinduisme & Buddhisme, hal. 36.
[9]
Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[10]
Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[11] Hiriyanna, M. Outline of Indian
Philosophy, hal.233.
[12] Ali, Matius. Ibid, hal. 37.
[13] Ali,
Matius. ibid, hal. 38.
[14]
Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144-145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar