Rabu, 19 Desember 2012

ZAMAN KERAJAAN DIMANA HINDU DAN BUDHA MENJADI AGAMA NEGARA


ZAMAN KERAJAAN DIMANA HINDU DAN BUDHA MENJADI AGAMA NEGARA

Mengingat lemahnya kedudukan wakil - wakil yang ditinggalkan oleh Iskandar di India, tidak lama setelah beliau wafat, penduduk negeri tersebut langsung bertindak untuk merebut kemerdekaannya. Pemimpin gerakan tersebut adalah Chandragupta, keturunan raja Nanda di Magadha, yang dibuang keluar negerinya dan tiba di India Utara. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa Chandragupta pernah bertemu dengan Iskandar dan sebagai pemuda bangsawan yang mempunyai perasaan keprajuritan, beliau tentu tertarik oleh kegagahan dan kebijaksanaan pahlawan tersebut. 
Kerajaan Iskandar dibagi - bagi oleh para panglima perangnya sehingga mereka bisa menjadi raja di daerah masing - masing. Di antara mereka, Seleukos menguasai bagian timur yang melingkupi India Utara. Tindakannya untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri itu dikalahkan oleh Chandragupta dariMagadha, sehingga beliau terpaksa mencari perdamaian pada tahun 305 SM. Perdamaian itu sangat berarti, karena semenjak itu Seleukos mempunyai utusan - utusan di Pataliputta, ibu kota Magadha. Salah seorang utusan yang bernama Megasthenes, menuliskan pengalamannya di sana dengan rapi dan teliti. Surat - suratnya masih tersimpan dan salinannya menjadi sumber penting untuk mengetahui keadaan dalam kerajaan Chandragupta pada masa itu (322 - 298 SM) dan pemerintahan putranya,  yakni Raja Bindusara (298 - 272 SM). 
Penulis lain yang terkenal adalah  Vishnugupta atau Kautilyaseorang Brahmana, guru besar penasihat Chandragupta ketika beliau berada dalam pembuangan. Setelah Chandragupta menjadi raja, beliau diangkat sebagai menteri dan dalam jabatan itu beliau menulis undang - undang yang dikumpulkan dan dinamai Kautilya-ArthasastraKitab itu mengandung kejadian yang sangat bermakna untuk sejarah India kuno, baru ditemukan di Tanjore oleh seorang ahli Hindu, Shamasastri  pada tahun 1906. Beliau yang menafsirkan dan menerbitkan Arthasastra itu.
Kitab Arthasastra memberikan keterangan yang cukup banyak mengenai peraturan pemerintahan dan kehakiman di zaman itu. Keterangan - keterangan itu semuanya menggambarkan Magadha sebagai suatu negeri yang maju dan mempunyai kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan, kehakiman, perekonomian serta cara pertahanan yang teratur. Peraturan - peraturan pemerintahan tersebut muncul dari kebijaksanaan dan pemikiran sendiri, bukan meniru negeri lain.
Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, di bawahnya terdapat raja  - raja muda yang menguasai propinsi - propinsi. Di samping raja, ada suatu badan penasihat tinggi. Pusat pemerintahan diserahkan kepada 18 kementerian yang amat lengkap, yakni kementerian pertahanan negeri, dibagi atas 8 bagian.Para pejabat menerima gaji yang cukup supaya mereka tidak memeras penduduk. Pajak tanah, cukai barang masuk, pajak penghasilan, yang dihitung dengan aturan - aturan yang modern, sudah dijalankan di kerajaan Magadha. Untuk meningkatkan hasil pertanian diadakan irigasi secara besar – besaran yang sangat diperlukan di negeri panas seperti India. Jalan - jalan raya terdapat di seluruh kerajaan. Untuk mengetahui keadaan rakyat, secara diam – diam, raja mengirim utusan – utusan khusus untuk mengadakan pemeriksaan di daerah – daerah. 
Pertahanan di dalam negeri sangat kuat. Menurut keterangan Megasthenes, tentara Magadha terdiri dari sekitar 600.000 prajurit, 30.000 prajurit berkuda, 9.000 ekor gajah dan 8.000 kereta perang. Keraton raja di Pataliputta sangat indah dengan banyak harta yang terkumpul di dalamnya. Para pegawai wanita bekerja di dalam keraton dengan kedudukan teratur. 
Kaum Brahmana mendapat perlindungan yang khusus, mereka banyak memberikan pengaruh kepada raja. Menurut kabar dari kaum Jaina, sesudah terjadi kelaparan hampir 10 tahun, Raja Chandragupta mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi pengikut Jaina, karena beliau merasa bersalah terhadap rakyatnya. Beliau digantikan oleh putranya, Raja Bindusara (298 - 272 SM).
Riwayat Raja Bindusara tidak begitu jelas. Raja Bindusara pertama kali memerangi bangsa - bangsa di daerah Deccan di India Tengah. Beliau digantikan oleh putranya yang terkenal dalam sejarah India, yakni Raja Asoka Vardana (272 - 232 SM).
Sebelum Raja Asoka naik tahta, beliau memegang kuasa sebagai raja muda di India Barat, suatu ujian diadakan untuk menunjukan kecakapannya. Beliau menggantikan ayahnya sejak masih muda, tetapi penobatannya sebagai raja baru diadakan empat tahun kemudian. Tidak seperti nenek dan ayahnya, beliau adalah seorang yang lemah lembut, ramah dan berbakti, setia kepada agama dan sangat
mengasihi rakyatnya. Walaupun demikian, beliau terpaksa berperang demi ketentraman di Deccan dan menaklukkan kerajaan Kalinga (Teluk Benggala). Setelah Raja Asoka mendengar bahwa dalam peperangan tersebut sekitar 100.000 orang Kalinga meninggal dan 150.000 ditawan, beliau sangat sedih dan bersumpah tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap siapa pun untuk selamanya. Semakin lama semakin nampak keinginannya untuk mengikuti ajaran Buddha dan menjalankan segala ajaran Buddha dalam kehidupan sehari - hari serta dalam pemerintahan.
Di tahun 249 SM atau 24 tahun setelah menjadi raja, Raja Asoka mengunjungi tempat - tempat yang berhubungan dengan kehidupan Buddha Gotama. Tempat - tempat tersebut adalah : Kapilavatthu(tempat kelahiran Buddha), Vārāṇasī (tempat Buddha pertama kali mengajarkan Dhamma),Buddhagayā  (tempat pohon MahāBodhi), dan Kusināra (tempat Parinibbāna Buddha). Di tempat - tempat tersebut, Raja memberikan dāna dan mendirikan tanda - tanda peringatan yang sampai sekarang masih sangat bermakna untuk mempelajari sejarah masa lalu.
Raja Asoka meninggalkan ajaran Brahmana dan mengikuti ajaran Buddha, kemudian Raja menjadiBhikkhu. Ajaran Buddha pada masa itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah Raja Asoka, sekitar 48.000 buah thūpa (stupa) didirikan. Yang masih tersisa adalah stupa yang terkenal di Sanchi (India Tengah), dekat ibukota di bawah pemerintahannya dulu. Untuk puterinya, Puteri Charumali yang sangat berbakti, Raja mendirikan beberapa vihāra bagi kaum wanita, terutama di bagian Nepal.
Pada tahun kesepuluh masa pemerintahan Raja Asoka diselenggarakan Sagāyanā yang ketiga di ibukota Magadha, Pataliputta (218 tahun sejak Parinibbāna Buddha Gotama). Sagāyanā dipimpin oleh Bhikkhu Tissa Moggaliputta dan menetapkan Kattavatthu ke dalam Abhidhammā. Diberitakan bahwa pada masa itu terdapat delapan belas aliran (Therāvada yang terkemuka) dalam ajaran Buddha. Seorang sarjana barat, Kern, menilai bahwa Sagāyanā ketiga ini bukan bersifat umum, melainkan hanya dihadiri oleh kelompok Therāvada.
I-Tsing yang berkunjung ke India (tanpa singgah ke Sri Lanka) pada akhir abad ke-7 Masehi memberitakan bahwa Theravāda sangat dominan di bagian selatan India, sementara Sarvastivada(dengan kitab berbahasa Sansekerta) berpengaruh di belahan utara India, menyebar dari barat ke timur. Namun seperti diketahui bahwa ajaran Buddha mengalami kemunduran dan lenyap di India pada abad ke-15 Masehi.
Di masa pemerintahan Raja Asoka, seluruh India hampir dapat disatukan, hanya bagian ujung Selatan dan Sailan yang belum takluk kepadanya. Delapan belas tahun setelah Sagāyanā ketiga, Raja Asoka mengirim putranya (sumber lain menyebutkan sebagai kemenakannya), Bhikkhu Mahinda, ke Pulau Sailan dengan membawa Tipiṭaka PāỊi beserta komentarnya. Tipiṭaka inilah yang diyakini hingga sekarang masih berada di Sailan, Burma, Siam dan Kamboja. Kemudian Bhikkhu Mahinda kembali ke Sri Lanka untuk menyebarkan Dhamma. Sejak itu, setiap tahun beratus - ratus orang datang mengunjungi tempat suci di daerah Benares. Dari zaman Raja Asoka sampai sekarang pulau Ceylon menjadi pusat penyebaran ajaran Buddha.
Dalam sejarah India, belum pernah terdapat seorang raja yang mempunyai kerajaan yang begitu luas seperti Raja Asoka. Kerajaan Chandragupta di abad ke-5 Masehi dan kerajaan Moghul (Sultan Akbar dan turunannya) di abad ke-16 dan 17 tidak sampai menyamai kerajaan Raja Asoka itu.
Yang penting dalam sejarah pemerintahan Raja Asoka dan yang membuat namanya terkenal sampai sekarang adalah tulisan  - tulisan (prasasti) yang dipahat pada dinding - dinding dan tiang - tiang batu (zuilen). Kebanyakan di antara prasasti - prasasti masih terpelihara serta dapat diselidiki dan ditafsirkan isinya oleh ahli  - ahli kesusastraan India. Tanda - tanda peringatan itu didirikan oleh Raja Asoka di seluruh kerajaannya,  jadi bukan di ibukota saja.
Bahasa yang dipakai dalam tulisan - tulisan itu adalah bahasa Prakrit, bahasa orang biasa pada masa itu. Bahasa itu sangat erat hubungannya dengan bahasa Sankrit dan bahasa PāỊi yang lazim dipakai dalam kitab - kitab ajaran BuddhaPrasasti - prasasti itu mengandung berbagai undang - undang dan aturan - aturan tentang agama dan masyarakat, perdamaian antara agama – agama, upacara, kebaktian dan lain - lain.

Dari tulisan - tulisan itu diketahui bagaimana susunan pemerintahan pada masa Raja Asoka. Jelas pula kondisi batin raja tersebut, sebab dari susunan kata - kata dan perasaan - perasaan batin yang diuraikan dalam prasasti - prasasti itu, nampak bahwa makna yang terpahat tersebut muncul dari pemikiran raja sendiri, bukan buah pikiran menteri atau penasehat - penasehat di istananya.
Raja Asoka dengan resmi telah mengikuti ajaran Buddha, akan tetapi rakyat pada umumnya masih setia kepada ajaran Hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat sejak zaman purba. Para Brahmanamasih memberikan pengaruh yang besar kepada rakyat. Dalam keadaan demikian, Raja Asoka mengeluarkan amanat supaya di antara agama - agama dan aliran - aliran haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian, setiap agama bebas untuk melakukan kebaktian dan mendapatkan perlindungan yang sama dari raja.
Pendidikan masyarakat didasarkan pada ajaran Buddha. Oleh sebab itu, beliau melarang pembunuhan terhadap makhluk hidup, baik manusia maupun hewan, yang melanggar aturan itu akan mendapat peringatan keras. Ajaran Buddha mengajarkan adanya kelahiran kembali di 31 alam kehidupan. Kelahiran kembali itu ditentukan oleh hasil perbuatan (kamma) setiap manusia, yakni hasil dari segala perbuatannya, yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia dan hewan tidak boleh dibunuh.
Dalam tulisannya, Raja Asoka memerintahkan supaya setiap orang menghormati orang tua, leluhur dan orang - orang yang patut dihormati. Kewajiban lain adalah supaya setiap orang mencari kebenaran, bersikap rendah hati, dan murah hati. Tindakan Raja Asoka yang penting sehubungan dengan ajaranBuddha adalah mendirikan rumah - rumah sakit dan rumah - rumah sederhana; menyediakan pondok - pondok untuk merawat hewan yang sakit; memberi dāna kepada Saṅgha; mendirikan vihara – vihara; mengirim utusan keluar negeri untuk meningkatkan perdamaian, seperti ke Iran, Mesir, dan Sailan; menjaga jalan - jalan raya; menyediakan tempat persinggahan, sumur – sumur; menanam pohon – pohon buah di pinggir jalan untuk umum dan sebagainya.

Dari semua itu, nampak jelas bahwa Raja Asoka adalah raja yang bijaksana, beragama, berpendirian atas kemanusiaan dan menghormati semua agama. Banyak cerita mengenai ketenaran Raja Asoka, kepercayaan tentang kehidupannya yang istimewa masih terdengar sampai sekarang, terutama di Sailan, pusat ajaran Buddha, beliau dihormati sebagai seorang manusia yang merupakan  penjelmaanBodhisatta.
Kerajaan Maurya sangat maju dan mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Raja Asoka. Setelah raja wafat, kaum Brahmana yang merasa tidak mendapat kedudukan tinggi di masyarakat yang mengikuti ajaran Buddha mengajak rakyat untuk melawan Raja Dasarathaputera Raja Asoka. Kerajaan Mauryamulai mundur dan terpecah - pecah. Tindakan tersebut tidak menghormati ajaran Buddha. Hal itu akan muncul lagi lima abad kemudian, yakni di zaman Samudragupta.
Raja Sunga menjadi tidak berkuasa lagi di bawah pengaruh menterinya, Vasudeva, yang akhirnya membunuh raja dan menggantikannya (73 SM). Keturunannya bernama Raja Kanva. Raja Kanva memerintah selama 45 tahun saja dan digantikan oleh Raja Andhra, yang mempunyai 30 turunan, memerintah hampir 250 tahun lamanya, sampai tahun 225 Masehi.[1]
Kerajaan Magadha merupakan kerajaan yang diperintah oleh Raja-Raja yang bukan berasal dari kebudayaan Weda. Pada masa epik di India, Jarasanda merupakan Raja yang terkenal dan terkuat. Ibukotanya bernama Rajagriha atau Rajgir, kini merupakan sebuah resort di Bihar. Jarasanda berselisih dengan para Kuru dan Yadu. Jarasanda dibunuh oleh Bhima dalam pertempuran gada.
Raja Jarasanda memiliki hubungan persahabatan dengan Raja Chedi, Sisupala, Raja Kuru, Duryodana, dan Raja Anga, Karna. Setelah zaman epik, yaitu pada masa Kali Yuga, Magada menjadi kerajaan terkemuka di India dengan ibukota yang baru, Pataliputra, kota pertahanan di pesisir Sungai Gangga. Wangsa Nanda dan Maurya memerintah kerajaan tersebut. Maurya membangun sebuah kerajaan terkemuka dalam rentang sejarah India yakni Kerajaan Maurya. Kerajaan ini sangat kuat tak terkalahkan sebelum invasi Alexander Agung ke India.[2]

Setelah berhasil menguasai Persia, pasukan Iskandar Zulkarnaen melanjutkan ekspansi dan menduduki India pada tahun 327 SM melalui Celah Kaibar di Pegunungan Himalaya. Pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Iskandar Zulkarnaen hanya sampai di daerah Punjab. Pada tahun 324 SM muncul gerakan di bawah Candragupta. Setelah Iskandar Zulkarnaen meninggal tahun 322 SM, pasukannya berhasil diusir dari daerah Punjab dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Maurya dengan ibu kota di Pattaliputra.
Candragupta Maurya menjadi raja pertama Kerajaan Maurya. Pada masa pemerintahannya, daerah kekuasaan Kerajaan Maurya diperluas ke arah timur, sehingga sebagian besar daerah India bagian utara menjadi bagian dari kekuasaannya. Dalam waktu singkat, wilayah Kerajaan Maurya sudah mencapai daerah yang sangat iuas, yaitu daerah Kashmir di sebelah barat dan Lembah Sungai Gangga di sebelah timur.
b. Ashoka
Ashoka memerintah.Kerajaan Maurya dari tahun 268-282 SM. Ashoka merupakan cucu dari Candragupta Maurya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Maurya mengalami masa yang gemilang. Kalingga dan Dekkan berhasil dikuasainya. Namun, setelah ia menyaksikan korban bencana perang yang maha dahsyat di Kalingga, timbul penyesalan dan tidak lagi melakukan peperangan.
Mula-mula Ashoka beragama Hindu, tetapi kemudian menjadi pengikut agama Buddha. Sejak saat itu Ashoka menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Setelah Ashoka meninggal, kerajaan terpecah-belah menjadi kerajaan kecil. Peperangan sering terjadi dan baru pada abad ke-4 M muncul seorang raja yang berhasil mempersatukan kerajaan yang terpecah belah itu. Maka berdirilah Kerajaan Gupta dengan Candragupta I sebagai rajanya.[3]
Kerajaan Maurya didirikan oleh Chandragupta. Kerajaan ini membentang dari Bengali hingga Hindu Kush, dan menyatukan seluruh daratan di India utara.
Chandragupta mengambil alih kekuasaan di Maghada pada 321 SM. Dalam waktu 10 tahun, ia telah menginvasi sebagian besar India utara. Ia seorang negarawan yang baik, dan India menjadi makmur di bawah pengaruhnya. Putranya, Bindusara (293-268 SM), memperluas kerajaan hingga jauh ke bagian selatan India.
Asoka, Sang Pendiri Kerajaan yang Mengenal Kebenaran
Cucu Chandragupta, Asoka (268-233 SM), merupakan penguasa terbesar Maurya. Ia memperluas kerajaan, yang dihuni oleh penduduk dengan lebih dari 60 keyakinan dan bahasa yang berbeda. Tahun 261 SM, pasukan Maurya menghancurkan penduduk Kalingga dalam sebuag peperangan yang banyak mengucurkan darah dan memakan korban sebanyak 200.000 jiwa. Menyaksikan kengerian serta penderitaan tersebut, Asoka merasa sangat terguncangdan ia memutuskan bahwa tidak ada kemenangan militer yang harus dibayar semahal itu. Ia berpindah agama, dari seorang Hindu menjadi pengikut Buddha, dan menanggalkan kekuasaan militer sebagai sebuah kebijakan nasional. Ia melarang persembahan korban hewan maupun manusia dan mempertahankan angkatan daratnya semata-mata sebagai sarana pertahanan. Asoka juga menerapkan hukum moral Buddha mengenai sikap baik dan menjauhi kekerasan serta memberikan perdamaian, kebudayaan, kehormatan, dan kemakmuran bagi rakyatnya. Ia mengembangkan agama Buddha dari sebuah sekte kecil, menyebarkannya sampai ke Indonesia, Asia tengah, dan Mesir. Ia banyak mendirikan tiang batu di seluruh India, menulisinya dengan berbagai panduan moral dan keagamaan bagi rakyatnya. Asoka adalah salah satu raja paling adil dalam sejarah.
Kehidupan Orang Maurya
Asoka berusaha memperbaiki kehidupan rakyatnya. Ia membangun sistem penampungan air, pengairan, dan menggali banyak sumur. Asoka juga membangun tempat peristirahatan dan sepanjang jalan yang menghubungkan berbagai daerah, guna meningkatkan arus perjalanan dan perdagangan serta menyatukan seluruh wilayah kerajaan ke dalam satu sistem. Asoka juga mengerahkan pasukan polisi rahasia untuk membantu mengawasi wilayahnya yang luas. Kendati Asoka berusaha menyatukan negeri, di bawah pemerintahanya, perbedaan antara penganut Hindu, Buddha, dan agama lain tetap tajam. Setelah kematiannya, Kerajaan Maurya mulai terpecah dan India terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil.[4]

DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar