Kitab Suci (Sruti
dan Smriti), Kitab Brahmana dan Anyaraka
Makalah
Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hinduisme
Dosen Pembimbing : Hj.
Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Noviah (1111032100045)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
I.
Pendahuluan
Dalam
agama Hindu ada kepercayaan bahkan agama itu “diwahyukan” melalui “orang-orang
yang melihat” , yang disebut Resi.
Karena Resi adalah orang-orang yang telah “mendengar”, pengetahuan tadi lalu
sering disebut dengan “sruti”. Apa yang didengar biasanya lalu dijadikan
teks-teks, yang adakalanya disebut dengan mantra-mantra yang sangat
dipentingkan dalam melakukan meditasi; juga sering dikatakan sebagai “kemampuan
menyelamatkan akal pikiran”.
Kitab
dalam agama Hindu adalah tulisan keagamaan yang paling tua dan dan paling besar
didunia. Sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan dan menyatakan kapan
kitab-kitab ini ditulis dengan benar karena terdapat banyak penulis yang
terlibat dalam kurun waktu ribuan tahun. Dan juga, kebiasaan yang ada pada
zaman dahulu bahwa seorang penulis tidak akan menuliskan nama mereka pada hasil
karyanya yang juga mempersulit masalah ini.
Namun,
semua itu tidak menyurutkan niat penulis
untuk membuat makalah ini. Dan untuk memudahkan pembaca dalam memahami
materi tersebut, penulis berusaha
menerangkan sesuai kemampuan penulis.
II.
Kitab Suci
a)
Kitab Sruti
( Weda )
Kitab Sruti termasuk kitab utama dari agama Hindu yaitu Weda. Weda mengajarkan ajaran tertinggi
yang diketahui oleh manusia, dan membentuk sumber yang mutlak dalam Agama
Hindu. Kata Veda diambil dari kata “Vid” yang berarti “mengetahui”. Sruti
dalam bahasa sanskerta berarti “apa yang didengar”.[1]
Veda ini adalah kebenaran yang abadi dimana pengamat weda, yang disebut dengan
para Resi, yang mendengar wahyu ini ketika mereka melakukan meditasi yang
mendalam. Weda bukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi ungkapan apa yang
disadari melalui persepsi intuisi oleh para Resi Weda, yang memiliki kekuatan
yang dianggap berasal dari Tuhan.
Kaum Resi menerima wahyu ini atau mendengarnya, dan kemudian direkam
dalam empat Weda. Weda-weda tersebut
adalah Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda,
dan Atharwa Weda. Wahyu ini
dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman,
intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang Yang Ilahi dimuat
dalam teks empat kitab Weda tersebut. Wahyu
Weda, dan oleh karenanya Weda
sendiri dirujuk sebagai Sruti, atau
“yang didengarkan”; ini kemudian ditambah dengan Smriti, atau “kenangan” yaitu tradisi.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda Samhita, yang mereka yakini sebagai
ciptaan Brahma. Hanya para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut. Isi
Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk
puji-pujian.Keempat Kitab Suci Weda Samitha tersebut yaitu:[3]
1) Rig Weda. Rigweda berasal dari kata “rig”
yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para dewa dalam
bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta)
terbagi dalam beberapa bait. Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang
mati, pembakaran dan penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat
penting . didalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang
monoteistis dengan falsafah yang monistik. Arah monoteisme tersebut muncul
sekitar Dewa Prajapati, tuhan Pencipta. Akan tetapi monoteisme disini belum
dalam pengertian yang tajam seperti pengertian monoteisme modern.
2) Sama Weda. Sama Weda merupakan suatu
bunga-rampai Rig Weda, dan sangat menekankan pada tanda-tanda irama musik.
Tanda-tanda musik ini kemudian
memunculkan musik Karnatik India, music klasik India yang asli. Music
Karnatik berhubungan dengan lagu pengabdian pada para dewa dan didasarkan atas
tujuh suara: Sa, Re, Ga, Ma, Pa, Dha dan Ni. Kombinasi dan permutasi dari tujuh
suara ini digunakan untuk menciptakan irama yang dikenal dengan raga. Sama Weda terdiri dari 1.549 bait.
Puji-pujian dinyanyikan diikuti dengan irama musikoleh para pendeta yang
disebut udgatar, dan biasanya
dilakukan pada waktu upacara korban diselenggarakan.
3) Yajurweda. Weda ini tidak hanya memuat
mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan tetapi juga mantra-mantra yang
diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur weda memiliki hubungan yang
sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan ketiganya sering disebut dengan “Tri-Wedi”.
4) Atharwa-weda. Para Atharwan adalah
golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai lagi kidung-kidung yang
harus diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi Atharwa Weda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri sudah dianggap
sudah memiliki kekuatan.
Beberapa
contoh nyanyian Rig Weda:[4]
POSYAN, DEWA TEMPAT GEMBALA
1.
Hai Posyan, dewa masa
keemasan,
Istana
engkau, dan lembah jalan pengembala,
Engkau
dapat mengalahkan setiap musuh asing,
Jadikanlah
jalan kami aman dari segala bahaya,
Hai
Posyan, hai pengendara awan !
Tunjukilah
kami selamanya, sebagaimana engkau menunjuki kami sebelum ini.
2.
Binasakanlah serigala liar
yang jahat itu,
Yang
bersembunyi didalam gelap diselat yang sempit,
Dan
binasakanlah setiap perampok dan pencuri,
Yang
akan beranak pinak untuk membinasakan dan menghabiskan hayat kami.
Posyan,
pengendara awan !
Tunjukilah
kami, sebagaimana engkau tadinya telah menunjuki kami.
3.
Barulah dalam murkamu, hai
Posyan,
Segala
perampok yang menjarah kami, di jalan-jalan yang tidak dilalui orang.
Yang
mempunyai hati keras tidak menaruh kasihan,
Membunuh
dengan anak panahnya yang tidak kelihatan,
Hai
anak awan, tunjukilah kami selamanya,
Sebagaimana
tadinya engkau menunjuki kami.
Demikianlah beberapa contoh tentang puji dan pujian pengikut-pengikut Rig
Weda kepada Tuhan yang disini disebut dengan Dewa, akan tetapi melihat kepada
modusnya, maka Tuhan tersebut adalah memiliki alamini, alam atas dan bawah,
alam lahir dan bathin, yang menyatakan kepada kita bahwa Tuhan mereka adalah
tinggi, tetapi penuh dengan berbagai kabut kemusyrikan, sesuai dengan
perkembangan pengetahuan beragama yang baru ada pada masa itu. Ataupun pada
masa itu telah baik, tetapi perkembangan kitab-kitab kemudian harinya telah
membawa apa yang sampai kepada kita telah terjadi berbagai perubahan atasnya,
sebagaimana yang biasanya kita dapati dan ketahui adanya.[5]
1. Kedudukan
Weda[6]
§ Sebagai
kitab suci, weda adalah sumber ajaran agama Hindu sebabb dari wedalah mengalir ajaran
yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran weda dikutip kembali dan
memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya.
Dari kitab weda (sruti) mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam
kitab-kitab Smriti, itihasa, Purana, Tantra, Darsana dan Tatwa-tatwa yag kita
wrisi di Indonesia.
§ Sebagai
wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa.Setiap halnya setiap ajaran agama memberikan
tuntunan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia lahir dan bathin dan
diyakini pula bahwa ajaran agama itu bersumber pada kitab suci, demikian pula
umat Hindu yakin bahwa kitab sucinya itu merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang
Maha Esa yang disebut Sruti yang
artinya didengar.
§ Sebagai
sumber hukum Hindu. Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu menjelaskan bahwa
weda adalah sumber dari segala Dharma atau hukum Hindu. Menurut kronologisnya,
kitab-kitab Hindu dapat kita kenal diantaranya : Weda (Sruti), Smriti
(Dharmasastra), Sila (tingkah laku
orang suci), Acara ( tradisi yang
baik), dan Atmanastuti (keheningan
hati).
2. Para
Resi penerima wahyu Weda
Perlu ditandaskan bahwa Weda pada mulanya diterima secara lisan dan
disampaikan pula secara lisan mengingat pada waktu Weda diturunkan itu belum
dikenal tulisan. Jadi bahasa lisan lebih dulu digunakan baru kemudian ketika
tulisan ditemukan mantra-mantra Weda dituliskan kembali dan tentang penulisan
kembali ini, secara tradisional berdasarkan kitab-kitab Purana, maharsi Vyasa
atau Krsnadvaipayana yag menyusun atau menuliskan kembali ajaran Weda dala
himpunan (Samhita) dibantu oleh 4
orang siswanya, yaitu Pulaha atau Paila, diyakini menyusun Rigweda,
Vaisampayana menyusun Yajurweda, Jaimini menyusun Samaweda dan Sumantu menyusun
Atharwaweda.
Seorang Maharesi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang
“Jnanin”, filosof dan pejuang dalam bidang agama.ia adalah penyebar ajaran
agama dan sekaligus moralis, pendeknya guru dengan berbagai sifat istimewanya
yang serba mulia. Dengan sifat tersebut, seorang resi adalah seorang
rohaniawann, agamawan dan sekaligus seorang pemimpin.
3. Penyusunan
dan diturunkannya mantra Weda
Umat Hindu berkeyakinan bahwa Weda bersifat Anadi Ananata, yakni tidak
berawal dan tida berakhir dan sebagai sabda Brahman. Pada mulanya para Resi
meerima wahyu itu lama kemudian setelah tulisan ditemukan, barulah dituliskan
mantra-mantra weda itu.
Selanjutnya mengenai kapan Weda itu diturunkan, beberapa sarjana baik
dari India maupaun maupun Eropa berpendapat tentang penyusunan Weda sebagai
berikut :
v Vidyaranya
menyatakan sekitar 1.500 tahun Sebelum Masehi
v Lokamaya
Tilak Shastri mmenyatakan 6.000 tahun Sebelum Masehi
v Bal
Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi
v Dr.
Haug memperkirakan tahun 2.400 Sebelum Masehi
v Max
Muller menyatakan sekitar tahun 1.200-800 Sebelum Masehi
v Heine
Galderen memperkirakan tahun 1.150-1.000 Sebelum Masehi
v Sylvain
Levy memperkirakan tahun 1.000 Sebelum Masehi
v Stutterheim
memperkirakan 1.000-500 Sebelum Masehi
b)
Kitab Smriti
Smriti berarti
“Yang diingat”. Kitab Smriti berasal dari Weda dan dianggap berasal dari
manusia bukan dari Tuhan. Smriti ditulis untuk dan menjelaskan Weda, membuat
Weda dapat dimengerti dan lebih berarti bagi manusia pada umumnya. Semua sumber
tulisan selain Weda dan Baghavad Gita secara kolektif disebut dengan Smriti.[7]
Smriti
merupakan kelompok kitab kedua sesudah kelompok Sruti (kitab wahyu) dan
dianggap sebagai kitab hukum Hindu karena didalamnya banyak dimuat tentang
sariat dalam bahasa Arab. Karena itu tidak mengherankan kalau kitab Smriti ini
dinyatakan di dalam beberapa kitab sebagai kitab Dharmasastra.[8]
1) Dharma Sastra. Tulisan ini
menggambarkan tentang peraturan dalam tingkah laku manusia yang benar,
kesehatan pribadi, administrasi social, etika dan kewajiban moral. Dharma
Sastra yang paling terkenal adalah Manu Smriti atau Kode manu, yang terdiri
dari 2.694 stanza dalam 12 bab. Manu, nenek moyang ke-65 (inkarnasi dari Tuhan
dalam bentuk manusia) Rama, yang menggambarkan tingkah laku dasar untuk
mengendalikan diri, tidak melukai, penuh kasih dan dan terikat, yang ditekankan
sebagai syarat untuk membentuk masyarakat yang baik.Manu Smriti, adalah kode hokum untuk hidup dengan benar, yang
secara terus menerus mendominasi kehidupan etika orang Hindu.
2) Nibandha. Nibandha adalah bacaan, pedoman,
dan ensiklopedia hokum Weda yang menyingggung tentang tingkah laku manusia,
pemujaan dan ritual. Nibandha juga membahas tentang topic pemberian hadiah,
tempat perziarahan suci, dan menjaga tubuh manusia.
3) Purana. Purana membentuk sebagian besar
kesustraan Smriti. Purana ini muncul dalam bentuk pertanyaan dan jawaban, dan
menjelaskan ajaran bawah sadar dari Weda melalui cerita dan legenda dari raja
zaman dahulu, pahlawan, dan sifat-sifat kedewataan. Purana adalah merupakan
alat yang sangat terkenal untuk mengajarkan ajaran keagamaan. Ada lima unsur
penting dalam kitab-kitab Purana, yaitu[9]
:
a. Sarga
(ciptaan alam semesta yang pertama)
b. Pratisarga
(ciptaan alam semesta yang kedua)
c. Vamsa
(keturunan raja-raja dan resi-res)
d. Manvantara
(perubahan Manu-manu)
e. Vamsanucarita
(diskripsi keturunan yang akan datang)
4) Epos (Cerita Kuno). Dua epos (itihasa) yang
paling terkenal dalam agama Hindu adalah Ramayana dan Mahabhrata. Epos ini
adalah cerita yang paling terkenal diantara orang Hindu.
5) Agama atau Tantara. Agama, juga dikenal
dengan Tantra, adalah kitab sekterian dari tiga theology Hindu yang utama dalam
tradisi agama Hindu, yang bernama Vaisnavism,
Sivism, dan Saktism.Vaisnava-Agama memuja kenyataan yang mutlak sebagai Dewa
Visnu; Siva-Agama yang memuliakan kenyataan Mutlak yang disebut dengan Dewa
Siva;,dan Sakti-Agama yang menyatakan bahwa kenyataan mutlak itu adalah Ibu
Mulia jagat raya ini.
6) Vedanga. Vedanga berarti “penggerak Weda”.
Vedanga terdiri dari enam bagian dan juga dianggap sebagai tambahan Weda pada
bagian tertentu. Keenam bagian dari Vedanga tersebut membahas tentang hal
berikut: Siksa (pengucapan yang
benar), Chanda (ukuran), Nirukta (etimologi), Vyakarana (tata bahasa), Jyotisa (astronomi), dan Kalpa (peraturan dalam melaksanakan
upacara dan ritual).
7) Darsana.Kata Darsana berasal dari urat kat
a”Drs” yang artinya melihat, menjadi kata Darsana (kata benda) artinya
penglihatan atau pandangan. Kata Darsana dalam hubungan ini berarti pandangan
tentang kebenaran (filsafat). Darsana atau filsafat ini dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu pandangan orthodoxdisebut
juga Astika. Kelompok ini mengakui bahwa Weda mutlak sebagai sabda dari Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya pandangan
heterodox disebut juga Nastika.
Filsafat ini tidak mengakui kebenaran dan kewenangan Weda, terdiri dari 3
filsafat yaitu : Carvaka, Buddha, dan Jaina.
a. Wedangga.
Di dalam memahami Weda dan kitab-kitab yang terkait dengan Weda kita mengenal
istilah Weda dan Susastra Weda. Dalam pengertiannya yang sempit, yang dimaksud
denga kitab-kitab susastra Weda adalah kitab-kitab Wedangga dan Upaweda.
Kitab-kitab Wedangga berisi petunjuk-petunjuk tertentu untuk mendalami Weda,
sedang Upaweda, adalah buku-buku yang menunjang pemahaman Weda. Diantara kitab
yang termasuk kedalam Wedangga diantaranya : Siksa, Vyakarana, Nirukta, Chanda, Jyotisa, dan Kalpa.
b. Upaweda.
Masing-masing kitab Caturweda memiliki kitab Upaweda. Kitab Upaweda dari
Rigweda adalah Ayurweda, kitab Upaweda dari Yajurweda adalah Dhanurweda, kitab
Upaweda dari Samaweda adalah Ghandarwaweda dan kitab Upaweda dari Atharwaweda
adalah Arthaweda.
c. Upangaweda.
Lebih jauh yang dimaksudkitab-kitab Upangaweda adalah sebagai berikut :
1. Mimamsa, yang terdiri dari : Purvamimasa dan
Uttara Mimamsa
2. Nyanya, yang terdiri : Nyanya- Vaisesika
dan Samkya
3. Purana, yang terdiri dari : 18 Mahapurana,
18 Upapurana dan Itihasa (Ramayana dan Mahabhrata).
III.
Kitab
Brahmana dan Anyaraka
Berbeda dari
naskah atau kitab Samhita, kitab Brahmana disusun oleh para pendeta Brahmana
sekitar abad ke-8 SM. Untuk menjelaskan tentang daya kekuatan korban. Dengan
kata lain, kitab tersebut bukanlah kitab puji-pujian kepada para dewa, tetapi
merupakan kitab yang berisi keterangan-keterangan dari para brahmana tentang
korban dan sesaji. Uraian-uraian didalamnya banyak yang membosankan dan sukar
dipahami padahal pikiran dasarnya justru sangat sederhana.
Keterangan-keterangan tersebut disertai dengan mitos dan legenda tentang
manusia dan para dewa dengan memberikan ilustrasi ritus-ritus korban.[11]Brahmana
juga menekankan dan membahas upacara pengorbanan dan teknik yang benar dalam
pelaksanaannya. Termasuk penjelasan dalam menggunakan mantra dalam upacara dan
menimbulkan kekuatan mistik dari pengorbanan itu. Bagian ini disebut dengan
Brahmana karena mereka membahas tugas dari para Brahim (pendeta) yang melakukan
pada saat upacara pengorbanan.[12]
Kitab Aitareya
dan Kausitaki (Samkhayana) merupakan kitab Brahmana dari Rigweda dan Aitareya
lebih tua umurnya dan isinyapun lebih tebal. Aitareya merupakan karya gabungan,
lima bagian yang pertama (Panchika) lebih tua dibandingkan dengan tiga bagian
yang terakhir. Demikian pula hanya 2 kitab Brahmana dan Samaweda yang masih
tersisa, yakni : Jaiminiya dan Tandyamaha Brahmana, yang terakhir ini disebut
pula Pancavimsa Brahmana.
Pada bagian
akhir kitab Brahmana terdapat tambahan, kemudian tambahan inilah yang disebut
sebagai kitan Anyaraka. Kitab ini
berisi tentang renungan sekitar masalah korban sehingga dianggap sakti. Karena
itu mempelajarinya harus ditempat-tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia,
yaitu ditengah-tengah hutan, Aranya =
hutan. Aranya (“kitab yang berasal dari hutan”; yaitu buku yang dihasilkan
dengan bermeditasi di hutan yang sepi) yang menandai transisi dari pengorbanan
Brahmanikal menuju filsafat dan spekulasi metafisika, yang kemudian dimuat
dalam Upanisad. Aranyaka terdiri dari interpretasi mistik dari mantra dan
upacara, yang disatukan pada saat mengasingkan diri di hutan, yang menimbulkan
kedisiplinan. Pengetahuan yang didapat oleh para asketis ini dianggap sebagai
wahyu.[13]
Kitab Anyaraka
tidak memberikan penjelasan kepada kita tentang aturan dan penjelasan tentang
upcara korban, melainkan menyediakan penjelasan mistis tentang upacara agama
itu. Sebagai bukti nyata, beberapa kitab Upanishad yang tua didalamnya terdapat
naskah-naskah tentang Aranyaka Aitareya Upanishad meliputi Aitareya Aranyaka yang
diambil dari Aitareya Brahmana. Pada bagian awal dari Chandogya Upanishad
merupaka kitab Anyaraka dari kitab Brahmana kitab Samaweda.Kena (Talavakara)
Upanisad merupakan Upanishad dari Jaiminiya Brahmana dari Samaweda. Semuanya mengandung makna mengenai hal
tersebut dengan berbagai puasa di dalam kehidupan hutan (Vanaprashta). Mereka
sebagai orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga (Grhastha) tidak
terikat dengan kegiatan ritual. Aranyaka menjelaskan tentang arti dan makna
upacara agama, kemungkinannya mereka hanya melakukan meditasi dan mencari makna
dari upacara-upacara yang suci itu. Perbedaan antara kiat Brahmana dan Aranyaka
tidaklah mutlak benar.[14]
IV.
Daftar
Pustaka
Abbas, Zainal Arifin.Perkembangan Pikiran Terhadap Agama. Jakarta:
Al-Husna, 1984.
Ali, Mukti.Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1998.
Honing. A.G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia, 1997.
Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita,
2006.
Ruslani. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat.
Yogyakarta: Qalam, 2000.
Titib, I Made. Pengantar Weda. Jakarta: Hanuman
Sakti, 1996.
[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu
(Surabaya: Paramita, 2006), h. 22
[2] Ruslani, Wacana Spiritualitas
Timur dan Barat (Yogyakarta: Qalam,2000), h.92
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 60
[4] Zainal Arifin Abbas,
Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta:Al-Husna,1984), h.196
[5] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan
Pikiran Terhadap Agama (Jakarta: Al-Husna,1984), h.198
[6] I Made Titib, Pengantar Weda
(Jakarta: Hanuman Sakti,1996), h.19
[7] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu
(Surabaya: Paramita,2006), h.33
[8] I Made Titib, Pengantar Weda,
(Jakarta: Hanuman Sakti, 1996), h. 120
[9] I Made Titib, Pengatar Weda,
(Jakarta: Hanuman Sakti, 1996), h. 140
[10] I Made Titib, Pengantar Weda,
(Jakarta: Hanuman Sakti, 1996), h.119
[11] Mukti Ali, Agama-Agama di
Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988), h. 66
[12] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu
(Surabaya: Paramita, 2006), h.27.
[13] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu
(Surabaya: Paramita, 2006), h. 27
[14] I Made Titib, Pengantar Weda,
(Jakarta: Hauman Sakti, 1996), h.112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar